Akhirnya, ketika Muhammad berusia 25, Abu Talib mencarikannya pekerjaan sebagai bendahara di sebuah perusahaan milik wanita pedagang kaya yang juga masih saudara jauh, bernama Khadijah. Khadijah berusia 40 tahun, dia adalah seorang janda yang sukses dalam berdagang. Muhammad melakukan satu perjalanan ke Syria untuk memenuhi perintah Khadijah dengan menjual dagangannya dan membeli pesanannya. Ketika dia kembali, Khadijah jatuh cinta pada Muhammad, dan meskipun Muhammad hanyalah pelayannya, Khadijah melamar Muhammad untuk menikah dengannya.
Muhammad butuh dukungan finansial dan emosional. Baginya, pernikahan dengan Khadijah merupakan untung besar. Dari Khadijah, dia bisa mendapatkan kasih sayang keibuan yang tidak didapatkannya sejak kecil, dan juga jaminan keuangan sehingga dia tidak perlu kerja lagi.
Khadijah dengan senang hati memenuhi segala keperluan suaminya. Dia merasa bahagia dari melakukan kegiatan memberi, mengasuh, dan mengorbankan diri.
Muhammad tidak suka bekerja. Dia lebih memilih mengasingkan diri dan berkhayal dengan pikiran2nya sendiri. Bahkan sewaktu kecil, dia pun menghindari anak2 lain dan tidak mau berteman dengan mereka. Dia seringkali menyendiri. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa bahagia dan menikmati kehidupan. Dia jarang tertawa, dan jika dia tertawa, dia menutup mulutnya. Dari sinilah awalnya kebiasaan Muslim menganggap tertawa bukan perbuatan suci.
Dalam dunianya yang penuh khayalan, Muhammad tidak lagi merasa terasing dan tak diinginkan seperti yang dialaminya ketika kecil, tapi dia merasa dikasihi, dihormati, dipuji, dan bahkan ditakuti. Ketika dunia nyata terlalu berat untuk dihadapi dan dia merasa kesepian, maka dia melarikan diri ke dunia khayalannya, di mana dia bisa menjadi siapapun yang dia inginkan. Tentunya dia telah melakukan hal ini sejak masih sangat kecil ketika hidup di keluarga angkatnya dan menghabiskan waktu sendirian di gurun pasir. Dunia fantasinya yang ideal dan menyenangkan selalu menjadi tempatnya berlindung selama hidupnya. Baginya, dunia fantasi itu sama dengan dunia nyata, hanya jauh lebih menyenangkan. Muhammad tidak membantu Khadijah mengurus ke sepuluh anaknya karena dia lebih memilih menyendiri di gua2 sekitar Mekah, menghabiskan waktunya seharian di dunianya sendiri, sibuk berkhayal dan bermimpi.
Gunung Hira
Muhammad butuh dukungan finansial dan emosional. Baginya, pernikahan dengan Khadijah merupakan untung besar. Dari Khadijah, dia bisa mendapatkan kasih sayang keibuan yang tidak didapatkannya sejak kecil, dan juga jaminan keuangan sehingga dia tidak perlu kerja lagi.
Khadijah dengan senang hati memenuhi segala keperluan suaminya. Dia merasa bahagia dari melakukan kegiatan memberi, mengasuh, dan mengorbankan diri.
Muhammad tidak suka bekerja. Dia lebih memilih mengasingkan diri dan berkhayal dengan pikiran2nya sendiri. Bahkan sewaktu kecil, dia pun menghindari anak2 lain dan tidak mau berteman dengan mereka. Dia seringkali menyendiri. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa bahagia dan menikmati kehidupan. Dia jarang tertawa, dan jika dia tertawa, dia menutup mulutnya. Dari sinilah awalnya kebiasaan Muslim menganggap tertawa bukan perbuatan suci.
Dalam dunianya yang penuh khayalan, Muhammad tidak lagi merasa terasing dan tak diinginkan seperti yang dialaminya ketika kecil, tapi dia merasa dikasihi, dihormati, dipuji, dan bahkan ditakuti. Ketika dunia nyata terlalu berat untuk dihadapi dan dia merasa kesepian, maka dia melarikan diri ke dunia khayalannya, di mana dia bisa menjadi siapapun yang dia inginkan. Tentunya dia telah melakukan hal ini sejak masih sangat kecil ketika hidup di keluarga angkatnya dan menghabiskan waktu sendirian di gurun pasir. Dunia fantasinya yang ideal dan menyenangkan selalu menjadi tempatnya berlindung selama hidupnya. Baginya, dunia fantasi itu sama dengan dunia nyata, hanya jauh lebih menyenangkan. Muhammad tidak membantu Khadijah mengurus ke sepuluh anaknya karena dia lebih memilih menyendiri di gua2 sekitar Mekah, menghabiskan waktunya seharian di dunianya sendiri, sibuk berkhayal dan bermimpi.
Gunung Hira