Muslim yang malu terhadap usia pernikahan aisyah mengarang cerita dan menyebar HOAX dimana-mana. Berikut ini adalah hoax-ngibul bin taqiya tersebut:

Mitos Kuno Tentang Usia Pernikahan Siti Aisyah RA oleh Minaret / T.O. Shanavas

Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, “Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam.

Dia melanjutkan, “Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya, “Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.

Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.

Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.

Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.

Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya.

Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya.

Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisham ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber

Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ” Hisham sangatbisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq ” (Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibn Hajar Al-`asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ” Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).

Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan
riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:

Pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

Bukti #2: Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.

Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyahh dari 2 isterinya ” (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah” (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).


KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’

Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).

Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]”
(Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M).

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?

KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyahikut dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda(jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, Kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir
ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon).

Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.

Bukti #7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.

Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath
al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

Bukti #8. Text Qur’an

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.

Ayat tersebut mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk mnikh.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Qur’an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri.

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama
sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,”berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar.

Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau
akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.

KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

Bukti #9: Ijin dalam pernikahan

Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.

Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.

Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.

KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

Summary:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.

Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

Note: The Ancient Myth Exposed
By T.O. Shanavas , di Michigan.
© 2001 Minaret
from The Minaret Source:http://www.iiie.net/


Bantahan Terhadap Tulisan T.O. Shanavas

Pembukaan
Pembela-pembela Islam modern mencoba menutup-nutupi kenyataan bahwa Muhammad adalah seorang pedophil dengan menciptakan keraguan atas usia Aisha ketika dia menikah dan disetubuhi oleh Muhammad, walupun telah ada banyak hadist-hadist sahih di mana jelas-jelas dinyatakan bahwa Aisha berusia sembilan tahun ketika itu.

Jelas sekali mereka merasa malu bahwa nabi mereka ternyata adalah seorang pedophil dan menyetubuhi seorang anak kecil berusia sembilan tahun. Mereka mencoba menutup-nutupi dengan menjelaskan bahwa Aisha sebenarnya tidak berusia sembilan tahun seperti yang diakui Aisha sendiri dalam hadist-hadist sahih, tetapi bahwa usianya adalah lebih tua berdasarkan sumber-sumber tak langsung, menggunakan teknik yang kabur dan penipuan.

Note: Walaupun demikian, ada juga sumber-sumber Islam yang mengakui secara langsung Aisha memang masih seorang anak kecil berumur enam tahun ketika bertunangan dengan Muhammad dan hanya berumur sembilan tahun ketika disetubuhi Muhammad. Misalnya dalam buku karangan Dr Ali Syariati berjudul Women in the Eyes and Heart of Muhammad, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Mengapa Nabi SAW berpoligami. Baca lebih lanjut di http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... highlight=


Alasan-alasan yang paling sering dipakai adalah berdasarkan tulisan Habib ur Rahman Kandhalwi berjudul “"Tehqiq e umar e Siddiqah e Ka'inat", yang telah dipakai orang lain seperti TO Shanavas yang tulisannya banyak dicopy paste dan diterjemahkan dalam forum-forum Islam, seperti yang berikut:

http://www.understanding-islam.com/rela ... ion&did=89
http://www.understanding-islam.com/ri/mi-004.htm
http://www.muslim.org/islam/aisha-age.php

Tulisan TO Shanavas ini tampil dalam website berikut:

http://www.irfi.org/articles/articles_1 ... prover.htm

Polemik TO Shanavas hanyalah sampah belaka. Tampaknya orang-orang yang menerima argumen TO Shanavas tidak pernah berpikir, mengapa dia bersusah-payah mencari dan menggunakan sumber-sumber menunjukkan usia Aisha saat dia disetubuhi Muhammad yang berbeda-beda?

Jika kita pelajari secara mendalam tulisan Shanavas, akan terlihat bagaimana argumen-argumen nya berkontradiksi satu sama lain. Bukti #2 mengatakan Aisha berumur 14 tahun, namun bukti #3 mengatakan sebenarnya dia berumur 12 tahun, bukti #4 umur 17 atau 18 tahun, bukti #5 umur 15 tahun, dan bukti #6 lebih tak jelas lagi, umur antara 14-21 tahun.

Dengan kata lain, bukti-buktinya salah berkontradiksi dan menyalahkan satu sama lainnya. Jadi mana “bukti” yang benar? Tidak mungkins emuanya benar. Tampaknya Shanavas sendiri tidak tahu jawabannya.

Jawaban yang paling sederhana adalah bahwa Shanavas telah menggunakan data-data yang diragukan kebenarannya dan menggunakan pengumpamaan (pengandaian) dalam perhitungannya. Dia tidak menggunakan hadist-hadist sahih, malah menggunakan bahan-bahan yang tidak sahih. Dia tidak menggunakan testimoni yang jelas-jelas menyatakan umur Aisha, malahan menggunakan kejadian-kejadian yang tidak bisa dipastikan tanggalnya secara tepat. Shanavas memilih menggunakan pernyataan-pernyataan dan kutipan-kutipan yang tak berdasar, yang tidak bisa dijadikan fondasi untuk menentukan usia Aisha ketika dia pertama kali disetubuhi Muhammad. Tidak heranlah jika Shanavas tidak mampu memberi jawaban yang konsisten atas pertanyaan mengenai usia Aisha. Tampaknya dia berusaha berkeras bahwa karena dia sendiri menggunakan data-data yang salah dan tak berdasar, yang menghasilkan berbagai usia yang salah berkontradiksi,kita semua mesti tak mengacuhkan apa yang telah kita ketahui tentang usia Aisha pada saat kejadian. Bahkan sebenarnya Shanavas berkata bahwa hanya karena dia menggunakan data-data sampah, kita harus membuang hadist-hadist sahih.

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang-orang (sumber-sumber) berikut, terutama Shaykh Haddad, yang pengetahuannya tentang Literatur Islam sangat berharga bagi analisa berikut”

* Dr Shaykh Gibril Fouad Haddad, guru Fiqh at Sunnipath.com dan Livingislam.org ( http://qa.sunnipath.com/issue_view.asp?HD=7&ID=4604&CATE=1 )
* Dr Ali Sina ( http://www.faithfreedom.org/Articles/sina/ayesha_age.htm )
* Situs Muslimhope ( http://www.muslimhope.com/AishaNine.htm )


Analisa
Shanavas menulis:

BUKTI #1: PENGUJIAN THD SUMBER

A. Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga.

B. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.

C. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua. Tehzibu'l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : " Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq " (Tehzi'bu'l-tehzi'b, Ibn Hajar Al- `asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50). Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: " Saya pernah dikasih tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq" (Tehzi'b u'l-tehzi'b, IbnHajar Al- `asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).

D. Mizanu'l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok" (Mizanu'l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu'l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

KESIMPULAN: berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindha ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

BANTAHAN:

Pelecehan terhadap Shaykh al-Islam Hisham ibn Urwah, cucu keponakan (grand nephew) Aisha sendiri, telah dibantah oleh Shaykh Gibril Haddad.

Berikut ini adalah bantahan Shayk Gibril Hadda:
A. Ada lebih dari sebelas otoritas di antara para Tabi’in yang melaporkan secara langsung dari Aisha. Itu masih tidak termasuk para Sahaba yang melaporkan hal yang sama dan juga penerus-penerus utama (major Successors) yang melaporkannya dari sumber selain Aisha.

B. al-zuhri dan abd allah ibd dhakwan, dimana keduanya adalah merupakan madanis2 utama, melaporkan hal tersebut dari Urwa, dengan narasumbernya Aisha. Demikian juga tabi'i yahwa al lakhmi ,serta ibn sa'ds tabaqat menyampaikan hal tersebut dari Aisha di musnad. Begitu pula abu ishaq sa'd ibn ibrahim melaporkannya berdasarkan imam alqasim ibn muhammad [sala satu dari ketujuh imam di madina] berdasarkan penuturan Aisha sendiri. Demikianlah kesemua naratif tersebut dilaporkan / diceritakan

C. Bukan begitu. Selain keempat perawi Tabi’in Medina di atas, Sufyan ibn `Uyayna dari Khurasan dan`Abd Allah ibn Muhammad ibn Yahya dari Tabarayya di Palestine juga melaporkannya. Bahkan hadist tersebut bukan hanya dilaporkan oleh `Urwa, tetapi juga oleh `Abd al-Malik ibn `Umayr, al-Aswad, Ibn Abi Mulayka, Abu Salama ibn `Abd al-Rahman ibn `Awf, Yahya ibn `Abd al-Rahman ibn Hatib, Abu `Ubayda (`Amir ibn `Abd Allah ibn Mas`ud) dan Imam-Imam Tabi’I lainnya langsung dari Aisha.

Dengan demikian, hal ini telah dilaporkan secara masaal (mutawatir) dari Aisha oleh lebih dari sebelas otoritas di antara kaum Tabi’in, belum lagi yang dilaporkan oleh para Sahaba seperti Ibn Mas`ud dan Penerus Utama seperti Qatada!

D. Sebenarnya, Ya`qub berkata: "Dapat dipercaya, dapat diandalkan sama sekali (thiqa thabt), tidak tercela kecuali setelah dia pergi ke Iraq, pada waktu mana dia meriwayatkan dari ayahnya dan dicela karena itu.” Perhatikanlah bahwa Ya’qub sebenarnya tidak membenarkan kritisi (pencelaan) itu.

Malik sendiri melaporkan lebih dari 100 hadist dari Hisham seperti yang dibuktikan dalam kedua (koleksi hadist) Sahih dan Sunan hingga al-Dhahabi menanyakan kepantasan / otentisitas pernyataan bahwa dia mencela Hisham.

Bahkan sebenarnya, tidak ada satupun ahli hadist yang membenarkan meragukan hadist-hadist tersebut karena hanyalah didasarkan pada kenyataan bahwa pada masa tuanya Hisma (dia berumur 71 tahun pada saat kunjungan terakhirnya ke Iraq) suka menyingkat perkataan, dan akan berkata, “Ayahku, dari Aisha” (abi `an `A'isha)" dan tidak lagi mengatakan, “diriwayatkan padaku (haddathani)".

Al-Mizzi in Tahdhib al-Kamal (30:238) menjelaskan bahwa orang-orang Iraq sudah tidak ragu lagi bahwa Hisham tidak pernah meriwayatkan sesuatu apapun dari ayhnya kecuali yang dia dengar langsung sendiri darinya.

Ibn Hajar juga tidak setuju dengan celaan terhadap Hisham ibn `Urwa dan berkata dalam Tahdhib al-Tahdhib (11:45): "Jelaslah sudah bagi orang-orang Iraq bahwa dia tidak meriwayatkan apapun dari ayahnya selain yang didengarnya secara langsung darinya."

Bahkan sebenarnya, mengatakan bahwa “kisah-kisah yang diriwayatkan oleh Hisham ibn `Urwa dapat diandalkan kecuali yang dilaporkan lewat orang-orang Iraq” adalah omong kosong besar karena itu akan menghapuskan semua riwayat oleh Ayyub al-Sakhtyani darinya karena Ayyub adalah seorang Iraq Basran, dan riwayat-riwayat oleh Abu `Umar al-Nakha`i yang berasal dari Kufa, dan riwayat-riwayat oleh Hammad ibn Abi Sulayman dari Kufa (Shaykh dari Abu Hanifa), dan riwayat-riwayat oleh Hammad ibn Salama dan Hammad ibn Zayd yang kedua-duanya berasal dari Basra, dan riwayat-riwayat oleh Sufyan al-Thawri dari Basra, dan juga riwayat-riwayat oleh Shu`ba di Basra, yang semuanya berasal dari Hisham!

E. Bohong! Malah sebaliknya al-Dhahabi dalam Mizan al-I`tidal (4:301 #9233) berkata: "Hisham ibn `Urwa, salah seorang yang terhormat, suatu bukti dalam dirinya sendiri, dan seorang Imam. Namun dalam usia tuanya daya ingatnya menurun, tetapi dia tidak pernah menjadi bingung. Dan jangan pernah peduli apa yang dikatakan Abu al-Hasan ibn al-Qattan tentang dia dan Suhayl ibn Ali Salib mnjadi bingung atau berubah-ubah. Memang benar, orangnya berubah sedikit dan daya ingatnya tidak sama seperti di masa mudanya, dan dia lupa beberapa dari yang dihafalkannya. Memangnya kenapa? Apakah dia mesti luput dari kelupaan?
[p. 302] Dan ketika dia tiba di Iraq pada akhir hidupnya dia meriwayatkan sangat banyak pengetahuan, beberapa di antaranya tidak begitu bagus, dan hal yang sama terjadi pula pada Malik, Shu`ba, dan Waki`, dan beberapa ahli terpecaya lainnya. Jadi tak usahlah bingung-bingung, dan tak usah mengacaukan Imam-Imam terpercaya dengan perawi-perawi lemah dan kacau. Hisham adalah seorang Shaykh al-Islam. Tapi biarlah Allah menghibur kami tentang engkau, O Ibn al-Qattan, dan sama juga halnya dengan pernyataan `Abd al-Rahman ibn Khirash's dari Malik"


Terima kasih, Shaykh Gibril Haddad. Tampaknya Shavanas telah salah mengutip atau mengemukakan referensinya sendiri. Maka tampaknya fitnaham terhadap Hisham ibn Urwa tidak berdasar dan tidak didukung oleh teks-teks Islam. Lagipula syarat yang dikemukan Shanavas bahwa hadist-hadist mengenai usia Aisha mesti diriwayatkan melalui banyak perawi dan melalui orang-orang yang bukan dari Medina adalah omong kosong belaka. Tidak ada syarat seperti itu di dalam Islam Sunni. Ini hanyalah standar yang diciptakan Shanavas sendiri untuk mendukung argumennya sendiri.


BUKTI #2: MEMINANG

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya " (Tarikhu'l-umam wa'l-mamlu'k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara'l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623M atau tahun 2H (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M). Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

BANTAHAN

Shaykh Gibril Haddad berkata bahwa bukti yang diberikan Shanavas adalah salah.

Al-Tabari tidak melaporkan dimanapun bahwa keempat anak Abu Bakr’s semuanya dilahirkan pada masa Jahiliyya. Dia hanya mengatakan bahwa Abu Bakr menikahi ibu-ibu mereka di jaman Jahiliyya; yaitu Qutayla bint Sa’d dan Umm Ruman yang memberinya empat orang anak, masing-masih dua anak dan Aisha adalah anak perempuan Umm Ruman.
Jadi Tabari bukannya tidak dapat diandalkan. Kontradiksi yang dituduhkan pada Tabari adalah hasil dari salah kutip.


BUKTI # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, "Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun... Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah " (Al-isabah fi tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu'l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978). Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

BANTAHAN:
Menggunakan usia Fatima untuk menentukan usia Aisha dengan tujuan untuk membantah hadist-hadist sahih adalah kesalahan logika (logical fallacy) karena riwayat hidup Fatima sendiri simpang siur. Tidak ada yang tahu secara pasti kapan Fatima dilahirkan (ketika ayahnya masih tidak terkenal dan bukan siapa-siapa), dan walaupun kematiannya tercatat baik usianya pada saat kematiannya pun tidak pasti.

Menurut cerita (tradisi) dia dilahirkan pada hari Jumat, hari ke 20 jumada ` th-thaaniyah
Pada tahun kelima setelah pernyataan kenabian (615 M), yang berarti dia seumur Aisha.
http://www.hadith.net/english/prophet/fatimah.htm
http://www.ummah.net/khoei/fatima.htm


Dan di http://home.swipnet.se/islam/A_Personality/Fatima(a.s).htm dikatakan

Pandangan paling umum dalam tradisi adalah bahwa Fatimah az-Zahra dilahirkan di Mekka, pada hari ke duapuluh Jumada 'l-Akhirah, dalam tahun kelima kenabian. Juga dikatakan bahwa ketika nabi meninggal, Fatima berumur delapan belas tahun tujuh bulan.

Dilaporkan dalam otoritas Jabir ibn Yazid bahwa (Imam kelima) al-Baqir ditanyai: "Berapa lama Fatimah hidup setelah Rasul Allah?" Dia menjawab: "Empat bulan; dia meninggal pada usia dua puluh tiga." Pandangan ini dekat dengan yang dilaporkan oleh tradisi mayoritas Sunni. Mereka telah mengatakan bahwa dia lahir pada tahun ke empat puluh satu kehidupan Rasul Allah. Ini berarti dia dilahirkan satu tahun setelah nabi ditunjuk oleh Allah. Cendekiawan Abu Sa'id al-Hafiz mengatakan dalam bukunya Sharafu' n-Nabiyy bahwa semua anak Rasul Allah dilahirkan sebelum Islam, kecuali Fatima dan Ibrahim yang lahir dalam Islam.

Reference: Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan ibn al-Fadl at-Tabrisi (c. 468/1076 - 548/1154)

Ada lagi yang mengatakan dia lahir sepuluh tahun sebelum Aisha. Orang-orang yang percaya hal ini percaya bahwa Fatima berumur 29 tahun ketika dia meninggal, bukan 18 tahun seperti yang dipercayai kaum tradisional.

Muslimhope (http://www.muslimhope.com/AishaNine.htm ) menulis:
Sunan Nasa’i vol.1 #29 p.115-116 sebenarnya berkata bahwa Fatima berumur 29 tahun ketika dia meninggal (enam bulan setelah Muhammad), yang membuatnya sepuluh tahun lebih tua daripada Aisha. Orang-orang lupa tanggalnya. Hadist-hadist otoritas Sunan Nasa’I umumnya lebih dipercayai dibandingkan hadist Ibn Hajar. Bagaimanapun, Aisha tetap lebih muda.

Ali Sina telah membantah ketepatan informasi Shanavas:
“Tentu saja informasi ini tidak dapat dianggap benar. Jika Aisha lima tahun lebih tua daripada Fatimah, dan Fatimah dilahirkan ketika nabi berumur 35 tahun, maka Aisha hanya 30 tahun lebih muda daripada nabi. Jadi pada saat pernikahannya ketika nabi berumur 54 tahun, Aisha mestinya berumur 24 tahun. Ini tentu saja tidak benar berdasarkan alasan-alasan yang telah dijelaskan di atas dan juga karena berkontradiksi dengan hadist yang dikutip para pembela Islam mengenai umur Asma, saudara perempuan Aisha, yang menurut hadist itu 10 tahun lebih tua daripada Aisha dan meninggal pada tahun 73H (pada usia 100 thn). Jadi pada saat Hijra Asma mestinya berumur 100-73 = 27 tahun, tetapi menurut hadist itu dia berumur 34 tahun.”

Shaykh Gibril Haddad menunjukkan bhwa Ibn Hajar hanyalah melaporkan apa yang dilaporkan para perawi, bukan kesimpulannya sendiri. Dan Shanavas memilih narasi yang salah dan secara salah mengatakan itu kesimpulan Ibn Hajar, yang sebenarnya hanyalah seorang yang melaporkan.

Gibril Hadda menulis:
“Ibn Hajar menyebutkan dua versi: (1) riwayat al-Waqidi bahwa Fatima dilahirkan ketika nabi berumur 35 tahun; dan (2) riwayat Ibn ‘Abd al-Barr bahwa dia dilahirkan ketika nabi berumur 41 tahun, kira-kira satu tahun sebelum masa kenabian, dan sekitar lima tahun sebelum Aisha dilahirkan. Versi terakhir ini cocok dengan tanggal-tanggal yang telah ditentukan.”

Bahkan sebenarnya kita tahu bahwa Ibn Hajar percaya bahwa Aisha berumur sembilan tahun ketika Muhammad menikahi dan menyetubuhinya; dan karena itu dia tidak bisa percaya pada riwayat yang bertentangan oleh al-Waqidi.

Muslimhope (http://www.muslimhope.com/AishaNine.htm ) menulis:
Ibn Hajar’s Isabah IV, p.359-360 mendukung bahwa dia sudah menikah pada usia 9 tahun.

Kesimpulannya adalah, tanggal lahir Fatima tidak dapat dipastikan. Walaupun begitu, Shanavas menggunakan perhitungan kira-kira yang tidak tradisional untuk menimbulkan keraguan atas usia Aisha, walaupun telah ada kisah-kisah tradisi yang sesuai dengan fakta. Perhatikanlah bagaimana Shanavas menghilangkan kisah-kisah tradisi dari referensi Ibn Hajar yang digunakannya, dan malah sebaliknya memilih referensi yang jelas-jelas salah. Ini bisa dipandang sebagai kesengajaan untuk tidak jujur.

BUKTI #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma'

Menurut Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la'ma'l-nubala', Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu'assasatu'l-risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibn Kathir: "Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: "Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: "Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H." (Taqribu'l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi'l-nisa', al-harfu'l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M). (Usia Asma (100) - 73 = usia Asma pada saat Hijrah (27 atau 28)

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun. Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?

kesimpulan: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.


BANTAHAN:
Satu lagi omong kosong. Usia Aisha ketika dia menikah dan disetubuhi Muhammad biasanya ditentukan dari hadist-hadist Sahih Bukhari, Sahih Muslim dan Sunan Abu Dawud.

Ali Sina telah membantah ketepatan informasi Shanavas:
“Tentu saja informasi ini tidak dapat dianggap benar. Jika Aisha lima tahun lebih tua daripada Fatimah, dan Fatimah dilahirkan ketika nabi berumur 35 tahun, maka Aisha hanya 30 tahun lebih muda daripada nabi. Jadi pada saat pernikahannya ketika nabi berumur 54 tahun, Aisha mestinya berumur 24 tahun. Ini tentu saja tidak benar berdasarkan alasan-alasan yang telah dijelaskan di atas dan juga karena berkontradiksi dengan hadist yang dikutip para pembela Islam mengenai umur Asma, saudara perempuan Aisha, yang menurut hadist itu 10 tahun lebih tua daripada Aisha dan meninggal pada tahun 73H (pada usia 100 thn). Jadi pada saat Hijra Asma mestinya berumur 100-73 = 27 tahun, tetapi menurut hadist itu dia berumur 34 tahun.”

Shaykh Haddad juga menyanggah ketepatan informasi ini:
“Ibn Kathir mendasarkan pendapatnya pada pernyataan Ibn Abi al-Zinad bahwa dia (Asma) sepuluh tahun lebih tua daripada Aisha. Namun al-Dhahabi dalam Siyar A`lam al-Nubala' berkata bahwa jarak lebih besar daripada 10 tahun di antara mereka berdua, hingga 19 tahun, adan dia lebih dapat dipercaya dalam hal ini. Ibn Hajar melaporkan dalam al-Isaba dari Hisham ibn `Urwa, dari ayahnya, bahwa “Asma hidup hingga umur 100 tahun, dan dari Abu Nu`aym al-Asbahani bahwa Asma' bint Abi Bakr dillahirkan 27 tahun sebelum Hijra dan dia hidup hingga awal tahun 74H.” Tidak ada apapun dalam riwayat-riwayat ini yang menjadi bukti umur Aisha.

Dengan menggunakan data-data yang salah, Shanavas mencemarkan nama baik Ibn Hajar. Dia mengandaikan Asma adalah 10 tahun lebih tua daripada Aisha, ketika ada sumber lain yang lebih dapat dipercayai yang mengatakan bahwa perbedaan usia itu bisa sampai 19 tahun. Dengan menggunakan informasi yang lebih dapat dipercayai ini, umur Aisha diperhitungkan sekitar sembilan tahun, sesuai dengan hadsit-hadist sahih di mana Aisha sendiri mengatakan dia berumur sembilan tahun.


BUKTI #5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Babkarahiyati'l-isti`anah fi'l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: "ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l-nisa' waqitalihinnama`a'lrijal): "Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikitpakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb]." Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud and Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu'l-maghazi, Bab Ghazwati'l-khandaq wa hiya'l-ahza'b): "Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb."
Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 years akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

BANTAHAN:
Ali Sina membantah argumen ini sebagai berikut:
Ini adalah alasan yang lemah. Ketika perang Badr dan Uhud terjadi, Aisha berumur sekitar 10 atau 11 tahun. Dia tidak ikut berperang sebagai prajurit, seperti halnya anak laki-laki. Dia pergi untuk menghangatkan tubuh Muhammad di malam hari. Anak lelaki yang belum mencapai usia 15 tahun dikirim pulang, tetapi ketentuan ini tidak berlaku baginya.

Perempuan dan anak-anak kecil pergi ke medan perang untuk melakukan tugas-tugas lainnya, seperti yang ditulis dalam situs muslimhope:
“Wanita dan anak-anak pergi ke medan perang setelah perkelahian selesai dan memberi air kepada Muslim-muslim yang terluka dan menghabiskan musuh yang terluka. . al-Tabari vol.12 p.127,146. Pada hari-hari peperangan, wanita-wanita dan anak-anak berada di sana untuk menggali kuburan bagi yang mati al-Tabari vol.12 p.107.

Maka jelaslah bahwa batas usia lima belas tahun itu hanya berlaku bagi anak laki-laki, dan argumen Shanavas jelas-jelas salah.

Shayk Hadda juga menunjukkan bahwa Shanavas menggunakan informasi yang salah atau tidak lengkap.
“ Pertama-tama, larangan itu hanya berlaku bagi yang ikut bertempur, tidak berlaku bagi anak-anak lelaki yang tidak bertempur, anak-anak perempuan yang tidak bertempur dan kaum wanita. Kedua, Aisha sama sekali tidak ikut bertempur dalam perang Badr, tapi hanya mengucapkan selamat jalan pada orang-orang yang bertempur ketika mereka melewati Medina, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dalam hadist sahihnya. Pada saat perang Uhud (tahun 3H), Anas yang pada waktu itu hanya berumur 12 atau 13 tahun melaporkan melihat Aisha yang berumur 11 tahun bersama ibunya Umm Sulaym mengikat baju mereka dan membawa kantong kulit berisi air pulang pergi kepada orang-orang yang bertempur, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Jadi, Aisha sama sekali tidak berpartisipasi dalam perang Badr. Sangat menarik melihat bagaimana Shanava mengutip separuh-separuh hadist Uhud untuk memberi kesan palsu bahwa Aisha ikut berperang dalam perang Uhud ketika hadist-hadistnya telah jelas mengatakan dia hanya membawa kantung air kepada orang-orang yang bertempur. Bagian terakhir dari hadist juga dihapuskan, secara sengaja atau tidak sengaja, yang bisa dianggap tindakan tidak jujur.

Sahih Bukhari: Volume 4, Book 52, Number 131:
Diriwayatkan oleh Anas: Pada saat perang Uhad ketika beberapa orang mundur menarik diri dan meninggalkan nabi, aku melihat Aisha bint Abu Bakr dan Um Sulaim, dengan baju mereka ditarik ke atas sehingga kalung-kalung di mata kaki merek terlihat jelas, tergesa0gasa dengan kantung air mereka (dalam riwayat lain dikatakan,” membawa kantung kulit air di punggung mereka”). Mereka lalu menuangkan air di mulut orang-orang, dan kembali lagi mengisi kantung air dan kembali lagi menuangkan air di mulut orang-orang.

BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)" ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa'l-sa`atu adha'wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane's Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukansibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karean itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.

BANTAHAN:
Kapan tepatnya Surah al-Qamar diturunkan tidaklah jelas. Ibn Hajar, Maududi, and tradisionalis lainnya berkata bahwa surat itu diturunkan lima tahun sebelum Hijrah (lihat situs muslimhope). Zahid Aziz mengklaim bahwa surat itu diturunkan 6 sebelum Hijrah, Kathib mengatakan 8 tahun sebelum hijrah. Amjad tidak menyebutkan nama sumbernya yang mengatakan ayat itu diturunkan pada tahun 9 sebelum hijrah. Point nya adalah bahwa kapan persisnya Surat al-Qamar diturunkan tidak diketahui, dan menggunakan tanggal yang tak pasti itu untuk menentukan usia Aisha bukan hanya menggelikan, tapi juga sangat bodoh. Namun jika memang suatu perkiraan mesti digunakan, mengapa tidak memakai perkiraan Ibn Hajar yang lebih otoritatif dan diterima dibanding Ibn Khatib?

Shaykh Haadad juga berpendapat demikian. Dia juga membuktikan bahwai perkiraan tradisional tentang turunnya Surat al-Qamar konsisten dengan usia Aisha adalah sembilan tahun. Tulisnya:
“Tidak benar. Ahli-ahli hadist, sejarahwan riwayat hidup Muhammad dan komentator (tafsir) Quran setuju bahwa pembelaan bulan terjadi sekitar lima tahun sebelum hijrah ke Medina. Maka dapat dikonfirmasikan bahwa Aisha lahir sekitar tujuh atau delapan tahun sebelum hijrah, dan perkataan bahwa dia seorang jariya atau gadis kecil lima tahun sebelum hijrah cocok dengan fakta bahwa umurnya pada saat Surat al-Qamar diturunkan adalah sekitar 2 atau 3 tahun.

Jadi usaha Shanavas untuk menyebarkan keraguan atas usia Aisha dengan menggunakan perkiraan non-tradisional (salah) tentang tanggal turunnya surat al-Qamar dengan mudanya telah dibantah.


BUKTI #7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepada nya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)". Ketika Nabi bertanya ttg identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yangmasih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris "virgin". Oleh karean itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah "wanita" (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah "wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan." Oleh karean itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

BANTAHAN:
Ali Sina telah membantah argumen ini:
“Penjelasan ini sama sekali tidak benar. Bikr berarti perawan dan, sama seperti dalam bahasa Inggris, tidak terpengaruhi usia. Bahkan sebenarnya Aisha adalah istri kedua Muhammad (setelah Khadijah), tetapi Muhammad tidak menyetubuhinya selama tiga tahun karena dia masih terlalu muda. Oleh karena itu dia memuaskan diri dengan Umma Salamah, hingga Ayesha lebih dewasa sedikit. Sama sekali tidak masuk akal menikahi seorang wanita cantik seperti Aisha dan menunggu tiga tahun untuk membawanya pulang ke rumah.

Shaykh Haddad juga setuju dan mengkonfirmasikan:
“Ini omong kosong orang yang tak tahu apa-apa. Bikr berarti seorang gadis perawan, seorang gadis yang belum pernah kawin, biarpun usianya 0 tahun, tidak ada penjelasan umur sama sekali.


BUKTI #8. Text Qur'an

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat , yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur'an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid doaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri. Ayat tsb mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurnaakalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memeliharaharta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan "sampai usiamenikah" sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Qur'an menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tsb secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untukbermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karean itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa AbuBakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan," berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

AbuBakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur'an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karean itu menentang hukum-hukum Quran.

Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

BANTAHAN:
Argumen ini sama sekali tidak benar. Quran mengizinkan lelaki Muslim menikahi gadis-gadis yang belum akil balig. Buktinya adalah sebagai berikut:

1. Surat 65:4 secara gamblang mengatakan lelaki Muslim boleh menceraikan gadis-gadis yang belum akil balig.

[65:4] Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

2. Bukti yang mendukung dari tafsir oleh Ibn Kathir:

Masa Iddah bagi yang sudah menopause dan yang tidak haid.
Allah menjelaskan masa tunggu wanita dalam menopause. Dan itu adalah orang yang haidnya telah berhenti karena usia tuanya. Masa Iddah nya adalah tiga bulan dan bukan tiga siklus haid bulanan seperti halnya bagi yang haid, yang berdasarkan ayat dalam Surat al-Baqaah (lihat ayat 2:228). Sama halnya bagi yang muda, yang belum mencapai masa haid. Iddah mereka adalah tiga bulan seperti halnya mereka yang menopause.


3. Bukti yang mendukung dari Sahih Bukhari

Sahih Bukhari Volume 7, Book 62, Number 63
Diriwayatkan oleh Sahl bin Sad; Ketika kami duduk-duduk bersama nabi, seorang wanita datang padanya dan menyerahkan diri (untuk kawin) padanya. Nabi menatapnya, matanya naik turun, tetapi tidak memberi jawaban. Salah seorang sahaba berkata, “Kawinkan dia padaku O Rasul Allah!” Nabi bertanya padanya, “Apa yang kamu punya?” Dia menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi berkata, “ Cincin besi pun tidak?” Dia berkata, “Bahkan cincin besi pun tidak punya, tapi aku akan merobek pakaianku menjadi dua dan memberi dia separuhnya dan menyimpan separuhnya.” Nabi berkata, “Jangan. Kamu hafal beberapa bagian Quran?” Dia menjawab, “Ya.” Nabi berkata, “Pergilah, aku telah setujuh menikahkan kamu dengan dia dengan apa yang kau tahu tentang Quran sebagai mas kawinnya.” ‘Dan bagi mereka yang tidak haid (yaitu mereka yang belum dewasa) (65.4) dan iddah bagi gadis yang belum akil balig adalah tiga bulan (di dalam ayat di atas).


Jadi bukannya melarang perkawinan dengan anak perempuan yang belum akil balig, sebaliknya Quran sesungguhnya menyetujuinya.

BUKTI #9: Ijin dalam pernikahan

Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Adalah tidak terbayangkan bahwa AbuBakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras ttg persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.

Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.

kesimpulan: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami ttg klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karean itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.


BANTAHAN:
Tampaknya Shanavas tidak tahu tentang hadist sahih Bukhari yang mengatakan seorang gadis perawan memberi izin dengan berdiam diri. Karena Aisha adalah seorang perawan, izinnya adalah berdiam dirinya dia.

Sahih Bukhari Volume 7, Book 62, Number 67:
Diriwayatkan oleh Abu Huraira: Nabi berkata, “Seorang wanita dewasa (yang pernah kawin) tidak boleh dikawinkan kecuali setelah dibincangkan dengannya, dan seorang perawan tidak boleh dikawinkan kecuali setelah izinnya diberikan. Orang-orang bertanya, “O Rasul allah! Bagaimana kita tahu dia mengizinkan?” Dia berkata, “Berdiam dirinya dia (adalah tanda izinnya)."


KESIMPULAN
Dapat dilihat dari analisa di atas bahwa TO Shanavas memberikan bukti-bukti yang tidak masuk akal (illogical) dan saling berkontradiksi berdasarkan data-data yang tidak benar untuk mendukung pendapatnya bahwa Aisha bukan berusia sembilan tahun ketika menikah dan disetubuhi Muhammad.

Karena “bukti-bukti” yang diberikannya memberi usia Aisha yang berbeda-beda dan karena dia menggunakan materi yang tidak sahih untuk membantah hadist-hadist sahih, dan karena dia menerima penggunaan fitnah yang tak didukung fakta, jelaslah bahwa dia belum dapat mendukung pendapatnya. Tidak ada satupun dari “bukti-bukti” yang diajukannya yang lulus ujian. Dalam banyak kasus malah kelihaatan dia mengutip secara salah dan menyalahartikan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Dalam hal lain, kelihatan dia memilih menggunakan sumber yang kurang dipercaya (tidak otoritatif) walaupun telah ada sumber yang lebih dapat dipercaya yang mendukung pandangan tradisional.

Shanavas juga telah mencemarkan nama baik (memfitnah) cendekiawan Ibn Hajar dan Tabari dengan mengatakan mereka berkontradiksi. Shaykh Gibril Haddad menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Ibn Hajar dan Tabari ini sama sekali tidak berdasar.

Jadi Shanavas telah dibantah dan fakta yang tetap ada adalah bahwa Aisha berumur sembilan tahun ketika dia menikah dan disetubuhi oleh Muhammad, seperti yang dibuktikan oleh hadist-hadist sahih.


atau download bantahan dari ulama muslim atas tulisan taqiya minaret: http://www.mediafire.com/?moeondthmmv

Apakah Makna Catatan Sejarah?

Pertama-tama, aku akan menerangkan makna “Apakah Catatan Sejarah?” itu. Sejarah itu berdasarkan narasi tercatat, di mana keterangan ditulis oleh para ahli sejarah dalam buku² mereka di jaman mereka masih hidup.

Contoh narasi tercatat adalah tulisan² sejarawan Yunani, Herodotus, yang lahir di Asia Minor dan hidup di abad ke 5 SM. Cicero berpendapat bahwa Herodotus adalah Bapak Sejarah. Herodotus menulis sejarah dunia, terutama tentang Perang² Persia. Bukunya yang berjudul Histroies (Sejarah) mencakup masa dari pertengahan abad 6 SM sampai awal abad 5 SM. Sejarawan² kuno seperti Herodotus tidak hanya bisa jadi sumber meyakinkan saja, tapi keterangannya sangatlah penting bagi kita untuk memahami kejadian di masa lampau. Sejarawan² Yunani dan Romawi lain setelah Herodotus juga menulis catatan sejarah penting yang bisa dianggap sebagai sumber yang terpercaya akan sejarah dunia.

Sumber lain tentang sejarah dunia juga terdapat dalam catatan² sejarah riwayat raja² dan negara². Riwayat² penguasa Assyria, Kaldea, dan Persia juga sangat berguna. Tawarikh yang paling kuno berasal dari Assyria dan ditulis di abad ke 7 dan 8 SM. Kami pun memiliki sumber² sejarah lainnya, seperti catatan tahunan yang dipahat di batu² dan penemuan² arkeologi lainnya.


Alkitab sebagai Sumber Sejarah Kuno yang Terpercaya

Meskipun kami memiliki berbagai sumber sejarah kuno yang terpercaya, sumber utama yang paling penting adalah Alkitab. Buku ini ditulis oleh berbagai nabi yang hidup di berbagai jaman yang berbeda. Mereka menulis keterangan secara akurat. Kebanyakan penulis Perjanjian Lama hidup dan menulis lama sebelum ada sejarawan dunia yang melakukannya.

Penulis Alkitab pertama adalah Musa yang hidup di abad 15 SM. Musa menulis riwayat² berbagai negara yang terbentuk melalui keturunan putra² Nuh setelah terjadi bencana air bah. Tulisan Musa tercantum dalam kitab Kejadian, buku pertama Alkitab. Meskipun dahulu para ahli sejarah meragunkan kebenaran tulisan sejarah Alkitab, tapi sekarang ditemukan berbagai bukti arkeologi yang membenarkan ketepatan catatan sejarah Alkitab. Meskipun Alkitab mencakup periode di mana tiada sejarawan dunia, bukti² arkeologi yang didapat dari berbagai penggalian di seluruh Timur Tengah telah menambah pengetahuan kita akan masa tersebut. Karena penemuan arkeologi ini tak pernah bertentangan dengan narasi Alkitab, maka Alkitab adalah sumber keterangan terpercaya, terutama tentang sejarah kuno.


Keterangan Sejarah dan Kronologi yang Salah dalam Qur’an

Di lain pihak, Islam tidak memiki keterangan dokumen apapun untuk mendukung isinya. Muhammad menulis di abad ke 7 M, lama sekali setelah berbagai catatan sejarah ditulis. Dia tidak pernah mengungkapkan kronologi sejarah seperti yang kita temukan dalam Alkitab karena dia tidak memiliki satu pun. Yang dia miliki hanyalah berbagai kisah yang dia campur dengan tokoh² yang dipinjamnya dari Alkitab. Di kasus lain, Muhammad menyelipkan kisah tokoh² ini di waktu sejarah yang salah, kadang² perbedaannya seratus tahun, kadangkala ribuan tahun.


Qur’an Mengisahkan Haman dan Menara Mesopotamia di Mesir di Jaman Musa

Contohnya nih, Muhammad mengatakan bahwa Haman, perdana menteri Raja Persia Ahasuerus, dan menara Mesopotamia di Mesir, di jaman yang sama dengan jaman Musa. Ahasuerus itu dikenal oleh berbagai ahli sejarah sebagai Xerxes, yang jadi Raja di tahun 486 SM, dan bukan di jaman Musa yang hidup di abad 15 SM. Muhammad mengatakan Firaun meminta Haman membakar batu bata dan membangun menara sehingga dia bisa naik surga dan melihat tuhannya Musa. Ini keterangan Muhamad di Qur’an, Sura al-Qasas (28), ayat 38:

Dan berkata Firaun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".

Muhammad mencontek kisah ini dari Kejadian 11:3,4. Setelah bencana air bah:

Mereka berkata seorang kepada yang lain: "Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik." Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan ter gala-gala sebagai tanah liat.
Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi."

Kita tahu bahwa para Firaun tidak pernah membangun menara apapun yang serupa dengan menara Mesopotamia. Masyarakat Mesir kuno tidak pernah membakar batu batu sampai di jaman Romawi menjajah Mesir. Sebelum jaman Romawi, orang² Mesir menggunakan batu untuk membangun piramida dan bangunan² ibadahnya. Untuk membangun rumah, mereka menggunakan batu bata yang dibuat dikeringkan oleh sinar matahari.


Muhammad Menyebut “Orang² Samiri” di jaman Musa, Meskipun Orang² Samiri (Samaria) Baru Muncul di Abad 6 SM

Contoh lain kesalahan judul terdapat di cerita Muhammad tentang anak sapi emas. Di kitab Keluaran tertulis bahwa Harun membuat patung ini di gurun. Kejadian ini berlangsung saat Musa naik ke gunung untuk menerima Sepuluh Perintah Tuhan. Karena tekanan bani Israel yang tidak sabar lagi setelah menunggu Musa selama 40 hari, Harun tunduk pada permintaan bani Israel dan membuat patung anak lembu emas untuk disembah mereka. Muhammad melaporkan kejadian ini di Qur’an, Sura Ta Ha (20), ayat 85-97 sebagai berikut:

85. Allah berfirman: "Maka sesungguhnya kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.
86. Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: "Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?"
87. Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula Samiri melemparkannya",
88. kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lubang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata: "Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa".
89. Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka, dan tidak dapat memberi kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan?
90. Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: "Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku".
91. Mereka menjawab: "Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami.
92. Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat,
93. (sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" 94. Harun menjawab: "Hai putra ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanahku".
95. Berkata Musa: "Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?"
96. Samiri menjawab: "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku".
97. Berkata Musa: "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: "Janganlah menyentuh (aku)". Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).

Ketika Muhammad menyebut nama “orang² Samir”, dia berpikir tentang Simon, tukang tenung Samiri (Samaria) yang disebut di kitab Kisah Para Rasul (KPR). Simon meniup orang² di kota Samaria dengan sihirnya dan dicela oleh Rasul Petrus. Persamaan akan celaan Musa pada orang² Samiri di Qur’an dan celaan Petrus pada orang² Samiri di KPR menunjukkan bahwa Muhammad menempatkan orang² Samaria (di KPR) di jaman Musa, padahal dua kejadian ini terpisah sebanyak 1500 tahun.

Kota Samiri dibangun oleh Omri, Raja Israel, di sekitar tahun 880 SM, tapi nama “orang² Samaria” baru tercatat di uang logam setelah abad ke SM, saat masyarakat Assyria dibawa ke Samaria setelah Sargon II menguasai kota itu di tahun 721 SM. Muhammad tidak tahu sejarah masyarakat Samaria, sehingga dia melakukan kesalahan sejarah yang fatal.


Muhammad di Qur’an Tak Bisa Membedakan antara Maria Ibu Yesus dengan Miriam Saudara Harun dan Musa

Contoh lain kebingungan Muhammad akan fakta sejarah kronologi Alkitab tentang Maria. Tampaknya dia dikelabui oleh orang² Mandaea sehingga dia menganggap Maria ibu Yesus adalah sama dengan Miriam saudara perempuan Harun dan Musa yang disebut di Alkitab. Maria ibu Yesus dalam bahasa Arab disebut dengan nama Miriam, dan ini menjadi sama dengan nama Miriam saudara perempuan Harun dan Musa (kitab Bilangan 26:59). Di Qur’an, Sura Maryam (19), ayat 28, tercantum:

Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina",

Melalui Qur’an-nya, Muhammad ingin menyatakan bahwa Maria ibu Yesus adalah tokoh yang sama dengan Miriam saudara perempuan Harun dan Musa. Hal ini diulang kembali di Sura lain di mana Muhammad beranggapan bahwa Yokhebed, istri Amram (ayah Harun dan Musa), mengamanatkan Maria ibu Yesus ketika baru lahir. Beginilah isi Qur’an, Sura al-Imran (3), ayat 35, 36:

(Ingatlah), ketika istri Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitulmakdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk."

Muhammad menyatakan ayat Qur'an di atas, padahal Miriam saudara Harun dan putri Amram lahir di akhir abad ke 16 SM, sedangkan Maria ibu Yesus lahir sekitar tahun 26-20 SM.

Kebingungan Muhammad akan sejarah adalah karena keterangan dari yang ngawur dari orang² Mandaea, yang datang pertama kali di Mesopotamia pada abad 2 SM. Orang² Mandaea dikenal di Arab sebagai orang² Sabi. Muhammad mengenal ajaran² mereka, dan kadangkala dia pun disebut sebagai orang Sabi oleh masyarakatnya karena dia mempraktekkan tatacara ibadah Sabi, seperti sholat lima waktu, wudhu sebelum sholat seperti yang dilakukan Mandaea Sabi, melakukan gerakan sholat yang sama seperti orang Sabi. Orang² Mandaea mengira bahwa Maria ibu Yesus adalah saudara Musa dan Harun. Di buku mereka yang berjudul Haran Gawaita, yang ditulis di abad 3 SM, kita baca di buku itu bahwa Yesus:

ditempatkan di dalam rahim Maria, putri Musa. Dia disembunyikan dalam kandungannya selama sembilan bulan. Ketika sembilan bulan telah berlalu, Maria bersalin dan melahirkan sang Messiah. [1]
[1] Haran Gawaita , Citta del Vaticano, Biblioteca Apostolica, hal. 3

Muhammad disebut sebagai orang Sabi oleh orang² Mekah. Contohnya, setelah dia kembali dari salah satu dakwahnya, dia merasa haus. Teman²nya bertanya pada seorang wanita yang membawa kantung air untuk memberi air pada Muhammad. Wanita itu bertanya, “Di mana?” Mereka menjawab, “Pada Nabi Allah.” Wanita itu lalu menjawab, “Pada orang yang disebut orang Sabi itu?” Mereka menjawab, “Tepat, kepada orang yang kau sebut orang Sabi itu.” Wanita itu kembali ke Mekah dan berkata, “Dua pria yang bertemu denganku membawaku menemui orang Sabi.” [2] Kita lihat bahwa Muhammad dikenal masyarakat Mekah sebagai orang Sabi, dan mereka menyebut pengikut Muhammad sebagai Sabi Muhammad pula. [3] Hal ini menunjukkan pada kita bahwa orang² Arab di jaman Muhammad mengetahui dengan baik orang² Sabi, dan juga tata cara ibadah dan ajaran agamanya. Mereka tahu dekatnya hubungan Muhammad dengan sekte Sabi di Mekah, sehingga Muhammad ketika Muhammad menyatakan agama barunya, masyarakat Mekah mengira agama itu muncul dari kaum Sabi yang hidup diantara mereka.
[2] Al-Bukhari, (Dar al-Kutub al-Ilmiyeh, Beirut-Libenon), 1:89
[3] Ibn al-Athir, al-Kamel Fi al-Tarikh, 2: hal. 86; Tarikh al-Tabari 1, hal. 126 ; Al-Asbahani, Al Aghani 17, hal. 15-17

Ketika Hasin, ayah dari seorang Muslim bernama Umran, jadi Muslim, suku Quraish menyebutnya sebagai “Saba,” [4] yang berarti dia beralih agama dan memeluk agama Sabi. Ketika Hamzah, paman Muhammad, masuk mesjid untuk mendukung Muhammad, orang² Mekah berkata padanya, “Kami lihat kau sudah menjadi orang Sabi.” [5] Abu Lahab, paman Muhammad yang menentangnya, menyebut Hamzah sebagai “Orang Sabi yang bod0h.” [6] Semua fakta sejarah ini menunjukkan bahwa suku Quraish menggolongkan Muslim sebagai umat sekte Sabi.
[4] Halabieh, (Dar al-Maarifah, Beirut-Lebanon), 1, hal. 456
[5] Halabieh 1, hal. 477
[6] Halabieh 1, hal. 508

Tidak hanya masyarakat Quraysh saja yang menyatakan begitu, tapi suku² Arab lainnya juga. Pria bernama Labid pergi mengunjungi Muhammad dan dia menjadi Muslim. Dia kembali ke sukunya yakni Bani Amir, dan melakukan wudhu. Wudhu merupakan tatacara ibadah umat Sabi. Dia pun mengucapkan slogan² Sabi seperti “Allahu Akbar.” Labid mulai nungging dan bersujud seperti orang Sabi, sholat seperti cara Sabi, dan mengucapkan Fatihah seperti Sabi. Semua aturan sholat yang dikenal orang² Arab sebagai tatacara ibadah Sabi masuk ke dalam Islam. Sirafa bin Auf bin al-Ahwas, penyair suku Bani Amir, melihat Labib bersholat gaya Sabi dan mengejeknya melalui puisinya dengan mengatakan Labid sebagai “orang yang datang pada mereka dengan agama Sabi.” [7]
[7] Ibn al-Athir, al-Kamel Fi al-Tarikh, 2, hal. 86

sumber:http://indonesia.faithfreedom.org/forum/islam-ditinjau-dari-pengamatan-sejarah-t42161/
ditulis oleh adadeh
Sumber buku: Islam-Ditinjau dari Pengamatan Sejarah
Oleh Dr. Rafat Amari

Sunan Abu Dawud merupakan kitab koleksi hadits yang disusun oleh Imam Abu Dawud, merupakan salah satu dari Kutubut Tis'ah (sembilan kitab hadits utama di kalangan Sunni).

Sunan Abu Dawud terbagi menjadi beberapa kitab dimana tiap kitab terdiri dari beberapa bab. Beberapa judul bab menunjukkan fiqih Imam Abu Dawud terhadap hadits-hadits yang termuat di dalamnya.

Baca koleksi hadits Sunan Abu Dawud Online <<-KLIK

Macam Penomoran Hadits Sunan Abu Dawud

Dalam menyusun kitab Sunannya, Imam Abu Dawud tidak memberikan nomor. Di kemudian hari beberapa pihak menambahkan nomor pada Sunan Abu Dawud untuk memudahkan perujukan hadits, sehingga dikenal beberapa penomoran:

Penomoran al-Alamiyah (4590)

Penomoran ini diberikan oleh al-Alamiyah, penerbit program komputer Mausu'ah al-Hadits asy-Syarif (Ensiklopedia Hadits Syarif). Versi online ensiklopedia ini ada di situs al-islam.com.

Penomoran Muhyiddin (5274)

Penomoran ini diberikan oleh Muhyiddin ketika men-tahqiq (mengoreksi dan mencocokkan kitab yang akan diterbitkan dengan manuskripnya) Sunan Abu Dawud. Penomoran ini banyak digunakan dalam penulisan kitab, buku, dan artikel keislaman.

Penomoran Prof. Ahmad Hasan (5253)

Penomoran ini menurut penomoran pada Partial Translation of Sunan Abu-Dawud, terjemah Sunan Abu Dawud dalam Bahasa Inggris oleh Prof. Ahmad Hasan.

Siapakah Sunan Abu Dawud?

Imam Abu Dawud (817 / 202 H – meninggal di Basrah; 888 / 16 Syawal 275 H; umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadits, yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, beliau bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.

Bapak beliau yaitu Al Asy'ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.

Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana beliau menemui kematian Imam Muslim, sebagaimana yang beliau katakan: "Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya". Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur.

Setelah beliau masuk kota Baghdad, beliau diminta oleh Amir Abu Ahmad Al Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashroh,dan beliau menerimanya,akan tetapi hal itu tidak membuat beliau berhenti dalam mencari hadits.

Guru

Kemudian mengunjungi berbagai negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Dia langsung berguru selama bertahun-tahun. Diantara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma'in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan ulama lainnya.

Murid

Demikian pula murid-murid beliau cukup banyak antara lain, yaitu:

  1. Imam Turmudzi
  2. Imam Nasa'i
  3. Abu Ubaid Al Ajury
  4. Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan Abi Daud dari beliau).
  5. Abu `Amr Ahmad bin Ali Al Bashry (perawi kitab sunan dari beliau).
  6. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al Faqih.
  7. Isma`il bin Muhammad Ash Shofar.
  8. Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau).
  9. Zakariya bin Yahya As Saajy.
  10. Abu Bakr Ibnu Abi Dunya.
  11. Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab Nasikh wal Mansukh dari beliau).
  12. Ali bin Hasan bin Al `Abd Al Anshory (perawi sunsn dari beliau).
  13. Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar (perawi sunan dari beliau).
  14. Abu `Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu`lu`y (perawi sunan dari beliau).
  15. Muhammad bin Ahmad bin Ya`qub Al Matutsy Al Bashry (perawi kitab Al Qadar dari beliau).

Penyusunan Hadits Sunan Abu Dawud

Imam Abu Daud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, jadi kumpulan hadits-nya berfokus murni pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.

Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia Muslim sebagai salah satu kitab hadits yang paling autentik. Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang sebagian ditandai beliau, sebagian tidak).

Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau, di antaranya Imam Turmudzi dan Imam Nasa'i. Al Khatoby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ibnul A'raby berkata, barangsiapa yang sudah menguasai Al-Qur'an dan kitab "Sunan Abu Dawud", maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.

Ia adalah imam dari imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah,demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu'tazilah, Murji'ah dan Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan diatas Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan olah Rasulullah. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji'ah dan Mu'tazilah.

Ia wafat di kota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.

Hadits online lengkap dari hadits sahih Bukhari dapat anda baca di sini --> HADITH SAHIH BUKHARI ONLINE

Berikut adalah cerita mengenai Imam Bukhari sebagai Penulis Hadits Sahih Bukhari:

Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari

Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.

Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.

Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.


Keluarga dan Guru Imam Bukhari

Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.

Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.


Kejeniusan Imam Bukhari

Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.

Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.


Karya-karya Imam Bukhari

Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.

Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”

Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.

Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”

Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”


Penelitian Hadits

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”

Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.


Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits

Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.

Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.

Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.

Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.

Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.

Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.


Terjadinya Fitnah

Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.

Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.

Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”


Wafatnya Imam Bukhari

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.