Proses evolusi dari seorang Muslim moderat menjadi teroris berlangsung perlahan dan seringkali tidak disadari. Mualaf (Muslim baru) semuanya awalnya moderat. Pada mulanya, mereka diajarkan “keindahan2 Islam”. Mereka diberitahu bahwa Islam adalah agama yang mudah, agama damai, agama semua orang dan menyembah satu Tuhan. Mereka dibimbing untuk percaya bahwa Islam menerima agama2 lain, terutama Yudaisme dan Kristen yang juga monotheistik, dan Muslim hanya tidak setuju dengan kedua agama ini karena pengikutnya telah mengubah ajaran agama mereka sendiri. Mereka diajak untuk percaya bahwa Islamlah satu2nya agama sejati yang diterima Tuhan dan siapapun yang tidak percaya Islam, menolak kebenaran adalah orang2 berdosa. Orang2 ini menyangkal Tuhan dan karenanya mereka akan celaka. Akhirnya, para mualaf ini diberitahu bahwa Isa dan Musa dalam Qur’an bukanlah Yesus dan Musa dalam Alkitab. Para mualaf perlahan-lahan menganggap orang2 yang beragama lain adalah musuh Allâh dan mulai membenci mereka secara aktif. Lalu mereka diajarkan bahwa hanya Muslim saja yang bersaudara dengan mereka dan para kafir di luar ingin menyerang mereka.
Setelah semakin lama dicuci otak, kau secara perlahan-lahan mulai merasa sebagai korban kaum kafir. Kau telah kehilangan jati diri mereka, dan jadi anggota tanpa nama dari ummah (masyarakat Islam), jadi budak Allâh. Kau mulai melihat dunia dengan pandangan lain. Perasaan “kami” lawan “mereka” menjadi semakin kuat setiap hari. “Mereka” adalah orang2 jahat, musuh2 Allâh. Mereka adalah para penindas dan penjahat. Semua non-Muslim, terutama yang bukan sealiran Islam denganmu, dianggap bagian dari musuh Allâh. “Kami” adalah orang2 yang ditindas, orang2 yang dijahati dan merupakan korban musuh Allâh. “Kami” adalah Muslim sejati, yang melakukan kehendak dan pekerjaan Allâh. Lalu kau mulai percaya bahwa kau punya iman dan agama sejati yang memerintahkan dirimu untuk berperang, membunuh musuh yang menekanmu dan kau harus bersikap keras terhadap mereka. Kau diberitahu bahwa Allâh akan membuatmu menang, dan kau akan menerima upah sensual abadi di surga.
Seorang “Muslim moderat” bisa jadi ekstrimis dan teroris dalam waktu semalam saja. Selama Muslim percaya pada Islam, setiap Muslim punya potensi jadi teroris. Islam memerintahkan pengikutnya untuk membunuh non-Muslim demi nama Allâh. Ini adalah kewajiban suci yang unik dalam Islam. Memang benar, Allâh berkata dia paling mencintai Mujahidin (pejuang Islam). Mereka adalah para Muslim terbaik. Merekalah yang akan mendapat upah yang terbaik dan tererotis di surga. Para “moderat Muslim” hanyalah para munafik dan lemah imannya. Indoktrinasi perlahan adalah modus operandi (cara kerja) semua aliran sesat, di mana kebenaran sejati dan rencana asli aliran itu ditutupi dan disuapkan perlahan-lahan kepada penganutnya. Perkataan anggota2 utama aliran ini sangat berbeda sama sekali pada dunia luar dan pada anggota kelompoknya sendiri.
Osherow menulis: “Setelah perlahan-lahan meningkatkan tuntutannya, Jones dengan hati2 mengatur agar anggotanya mulai tahu tentang “upacara kematian akhir.” Dia menggunakan ketaatan mutlak mereka agar mereka bersedia melakukan hal ini. Setelah berhasil melakukan tugas ringan, maka orang itu pun setuju untuk melakukan tugas yang lebih besar, dan hal ini diakui oleh ahli jiwa sosial dan para salesman (penjual barang dagangan). [304] Dengan melakukan tugas awal ini maka hal yang awalnya terasa tidak masuk akal jadi lebih diterima akal, dan ini juga mendorong orang untuk setuju melakukan tuntutan yang lebih besar pula.”
[304] Freeman, J., AND Fraser, S. Setuju tanpa Tekanan: Teknik Menarik Hati Orang. Journal of Personality and Social Psychology, 1966, 4, 195-202.
Osherow menerangkan bagaimana Jones mempersiapkan pengikutnya secara perlahan untuk mau melakukan bunuh diri massal. “Dia mulai mempertanyakan iman anggota yang percaya kematian harus dilawan dan ditakuti dan Jones lalu mengatur beberapa latihan bunuh diri “palsu”. Hal ini jadi ujian iman apakah anggotanya bersedia mengikuti Jones bahkan sampai mati. Jones akan meminta anggotanya apakah mereka siap mati dan di suatu waktu dia meminta anggotanya “memutuskan” nasib mereka sendiri dengan memberi suara apakah mereka mau melakukan tuntutan2nya. Seorang bekas anggota mengatakan bahwa suatu saat, sambil tersenyum Jones berkata, “Ya, ini adalah pelajaran yang baik. Kulihat kau tidak mati.” Caranya mengatakannya bagaikan kita perlu waktu 30 menit untuk melakukan penelaahan diri yang sangat kuat. Kami semua merasa benar2 mengabdi dan bangga akan diri kami. Jones mengajarkan bahwa adalah suatu hal yang mulia untuk mati bagi apa yang kau percayai, dan itulah yang sebenarnya kulakukan.” [305]
[305] Winfrey, C. Mengapa 900 Orang Mati di Guyana. New York Times Magazine, February 25, 1979.
Muhammad tidak minta pengikutnya bunuh diri. Sebaliknya, dia memuji-muji mati syahid. Sang Nabi Allâh lebih praktis dibandingkan Jones. Tindakan bunuh diri tiada gunanya baginya. Dia perlu anggotanya hidup agar bisa berperang baginya, memberinya harta jarahan dan menaklukkan dunia baginya. Dia memuliakan mati syahid di medan2 pertempuran. Kepraktisan Muhammad tampak jelas jika melihat kenyataan bahwa Jones dan berbagai pemimpin aliran sesat melakukan bunuh diri bersama-sama pengikutnya, sedangkan Muhammad jarang ikut berjuang aktif bersama2 pengikutnya di medan tempur.
Semua orang waras bisa dengan mudah melihat bahwa mengobarkan perang dan membunuhi orang2 tak berdosa dalam nama Tuhan adalah tindakan orang sakit jiwa, tapi tidak demikian dalam pandangan Muslim, bahkan “moderat” sekalipun. Jihad merupakan pilar utama Islam dan semua Muslim yang tidak setuju bukanlah Muslim lagi. Inilah sebabnya mengapa istilah “Muslim moderat” sebenarnya adalah menentang arti istilah itu sendiri (oxymoron). Tiada seorang Muslim pun yang dapat disebut moderat jikalau dia mengikuti ideologi yang memerintahkan pembunuhan terhadap non-Muslim. Perbedaan antara Muslim teroris dan Muslim moderat adalah Muslim teroris melakukan jihad saat ini juga, sedangkan Muslim moderat berpendapat mereka harus menunggu sampai menjadi lebih kuat dan baru setelah itu melakukan jihad. Pada prinsipnya, tiada seorang Muslim pun yang dapat tidak setuju dengan konsep jihad.
Bagaimana mungkin semilyar orang waras percaya pada ajaran gila ini? Jawabannya bisa didapatkan di Jonestown.
Osherow menulis: “Setelah Kenisah Rakyat pindah ke Jonestown, latihan bunuh diri yang disebut sebagai ‘Malam2 Putih’ dilakukan berkali-kali. Latihan yang tampaknya gila ini dilakukan secara teratur, dan membuat anggota Kenisah Rakyat menjadi terbiasa.”
Para anggota Kenisah Rakyat adalah orang2 normal. Mereka tidak sakit jiwa atau gila. Akan tetapi, karena mereka meletakkan intelijens mereka di tangan orang gila, maka mereka pun mengikuti kegilaannya secara membuta.
Osherow menulis: “Pembaca mungkin bertanya apakah latihan2 bunuh diri ini membuat para anggota berpikir bahwa bunuh diri betulan akan benar2 terjadi. Tapi ada banyak tanda bahwa mereka tahu bahwa di upacara akhir mereka minum racun sungguhan. Peristiwa puncaknya terjadi pada kedatangan politikus Ryan, munculnya beberapa orang yang murtad, para juru masak yang dulu tidak ikut serta latihan sekarang jadi ikut, Jones semakin marah, tertekan, dan tidak terduga, dan akhirnya, setiap orang melihat bayi pertama mati. Para anggota tertipu karena mereka tidak menyangka latihan kali ini ternyata benar2 mematikan.”
Osherow menjelaskan di bawah keadaan seperti itu, orang2 cenderung membenarkan tindakan mereka, termasuk melakukan kekerasan yang diperintahkan pemimpinnya. Tulisnya, “Contoh dramatis akibat pembenaran diri berhubungan dengan hukuman fisik yang diterapkan di Kenisah Rakyat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ancaman pukulan dan hinaan, membuat para anggota tunduk pada perintah2 Jones. Seseorang akan taat selama dia diancam dan diamati. Akan tetapi, untuk mempengaruhi seseorang, ancaman lunak terbukti lebih mujarab daripada ancaman keras [306] dan pengaruhnya tampak lebih lama [307]. Di bawah ancaman lunak, seseorang cenderung sukar bereaksi keras terhadap larangan ringan, dan dia cenderung mengubah kelakuannya untuk membenarkan reaksi dirinya yang tidak melawan. Ancaman keras menghasilkan sikap tunduk, tapi hal ini hanya sikap luar, sedangkan dalam dirinya tidak terjadi perubahan sikap. Reaksi yang berbeda terjadi ketika tidak jelas apakah suatu tindakan diharapkan pada seseorang. Pada saat seseorang merasa dia berperan aktif dalam menyakiti orang lain, dalam dirinya muncul motivasi yang membenarkan tindakan kejamnya terhadap korban karena merasa korban sudah selayaknya dihukum. [308]
[306] Aronson, E. , AND Carlsmith, J. M. Akibat ancaman keras pada pengamatan kelakuan terlarang. Journal of Abnormal and Social Psychology, 1963, 66. 584-588.
[307] Freedman, J. Akibat jangka panjang disonansi kognitif (melogiskan hal yang bertentangan). Journal of Experimental Social Psychology, 1965, 1, 145-155.
[308] Davos, K., AND Jones, E. Changes in interpersonal perception as a means of reducing cognitive dissonance. Journal of abnormal and Social Psychology, 1960, 61, 402-410.
Keterangan ini sangatlah penting. Di Jonestown para anggota sendiri akan mencela rekan mereka yang tidak tunduk, terutama sanak keluarga mereka, dan menghukum mereka. Tindakan kejam bagi orang normal terasa sangat mengganggu. Untuk mengurangi sakitnya nurani mereka sendiri, maka mereka mencoba merasionalkan kekejeman mereka dengan menyalahkan korban dan menganggap korban layak dihukum. Muslim diwajibkan memerangi non-Muslim dan bahkan orangtua, saudara, sanak keluarga mereka yang non-Muslim. Tindakan kekerasan dan kekejaman mereka itu dihalalkan dan dirasionalkan. Muslim diajar bahwa kekerasan terhadap non-Muslim dan sikap tak bertoleran itu sesuai dengan keinginan Illahi dan hukum suci Islam. Hal ini tidak hanya dapat diterima Muslim tapi diminati pula. Ketika Muslim menyerang orang2 tak bersalah dan membantai mereka, Muhammad meyakinkan mereka dengan berkata, “Bukan kalian yang melakukannya; tapi Allâh yang melakukannya.”
Wartawan BBC bernama James Reynolds mewawancara Hussam Abdo, usia 15 tahun, pembom bunuh diri yang agak menderita mental terbelakang yang tertangkap di pos pemeriksaan Israel. Dia ditanyai: “Ketika kau mengenakan sabuk bom itu, apakah kau benar2 tahu ke mana kau akan pergi dan membunuh orang2, bahwa kau akan mendatangkan banyak penderitaan terhadap para ibu dan bapak, bahwa kau akan melakukan pembunuhan massal? Apakah kau benar2 mengetahui hal itu?”
Hussam menjawab:
“Ya. Sama saja seperti mereka datang dan membuat para orangtua kami sedih dan menderita, maka mereka pun harus merasakan hal ini. Sama seperti yang kami rasakan – mereka pun harus merasakan hal ini pula.”
Dia ditanya, “Apakah kau takut mati?”
Jawabannya sama dengan yang dikatakan pengikut Jones di menit2 terakhir hidup mereka.
“Tidak. Aku tidak takut mati.”
“Kenapa?”
“Tiada yang hidup selamanya. Kita semua akhirnya akan mati.”
Sebuah kisah disampaikan oleh Abu Hodhaifa yang adalah Muslim Mekah usia muda yang ikut dalam perang Badr. Ayahnya ada di pihak lawan yakni Quraish. Dilaporkan bahwa Muhammad memerintahkan pengikutnya untuk tidak membunuh Abbas, pamannya sendiri, yang juga berada di pihak Quraish. Hodhaifa menaikkan suaranya, “Apa? Masakan kita membunuh ayah, saudara, paman kita sendiri tapi harus menahan diri untuk tidak membunuh Abbas? Tidak, aku pasti akan membunuhnya jika aku menemuinya.” Sewaktu mendengar komentar melawan ini, Omar, seperti biasanya dalam menunjukkan kesetiannya, mencabut pedangnya dan melihat pada sang Nabi menunggu tanda perintah untuk seketika memancung anak muda tak tahu aturan ini. [309]
[309] Muir; The Life of Mohammet Vol. III Ch. XII, Page 109.
Ancaman ini mendatangkan akibat seketika. Kelakuan Hodhaifa dengan cepat berubah dan kita lihat di akhir pertempuran, dirinya jadi tunduk dan berbeda. Ketika dia melihat ayahnya dibunuh dan mayatnya diseret untuk dibuang ke dalam sumur, dia tidak tahan dan mulai menangis. “Kenapa?” tanya Muhammad, “Apakah kau sedih dengan kematian ayahmu?” Tidak begitu, wahai Rasul Allâh!” jawab Hodhaifa, “Aku tidak ragu akan keadilan atas nasib ayahku; tapi aku kenal benar hatinya yang bijaksana dan pemurah, dan aku dulu percaya Tuhan akan membimbingnya memeluk Islam. Tapi sekarang aku melihat dia mati, dan harapanku punah! – itulah mengapa aku bersedih.” Kali ini Muhammad senang akan jawabannya, dan dia menghibur Abu Hodhaifa, memberkatinya; dan berkata, “Itu baik.” [310]
[310] Muir; The Life of Mohammet Vol. III Ch. XII, Page 109; (Waqidi, p. 106; Sirat p. 230; Tabari, p. 294)
Sikap tidak suka Muhammad terhadap bantahan Hodhaifa dan reaksi cepat Omar untuk mengancam membunuhnya di tempat itu juga, merupakan stimuli (pengaruh) kuat yang mengakibatkan Hodhaifa berubah perangai seketika dan sehari kemudian dia bahkan melihat “keadilan” atas kematian ayahnya. Begitu Hodhaifa kehilangan ayahnya, yang dibunuh oleh teman2nya sendiri, maka tidak ada jalan kembali baginya. Dia harus membenarkan apa yang dilakukannya dan merasionalkan pembunuhan ayahnya. Menemukan nalarnya dan menghadapi rasa bersalah nuraninya terlalu menyakitkan. Dia harus terus melanjutkan jalan yang ditempuhnya dan meyakinkan dirinya bahwa Islam itu benar atau menghadapi rasa bersalah seumur hidup.
Para pemimpin aliran sesat punya kemampuan sangat cerdik untuk mengontrol pikiran2 pengikutnya. Seperti yang dikatakan Hitler, kebohongan2 yang besar lebih mudah dipercaya oleh orang banyak, dan pemimpin aliran sesat psikopat adalah biang pembuat kebohongan besar.
Ada kisah yang disampaikan oleh Abdullah bin Ka’b bin Malik yang menunjukan kontrol seperti apa yang diterapkan Muhammad pada pengikutnya, baik secara psikologis maupun sosial. Ibn Ka’b berkata bahwa dia adalah Muslim taat dan telah menemani Muhammad dalam seluruh kegiatan perampokannya sehingga dia jadi kaya raya. Tapi ketika Muhammad memanggil pengikutnya untuk bersiap menyerang kota Tabuk di tengah2 musim panas di mana buah2an sedang ranumnya, maka Ibn Ka’b memilih tidak ikut pergi. Setelah kembali dari Tabuk, Muhammad memanggil mereka yang tidak ikut pergi dan menanyakan alasannya. Banyak yang punya alasan kuat sehingga mereka diampuni. Tapi ibn Ka’b dan dua orang Muslim lain tidak berani bohong untuk mencari alasan. Ibn Ka’b berkata:
“Memang benar, demi Allâh, aku tidak punya alasan apapun. Demi Allâh, aku tidak pernah sekuat dan sekaya ini dibandingkan dulu ketika aku tetap di belakangmu.” Maka Rasul Allâh berkata, “Tentang orang ini, sudah jelas dia jujur. Maka pergilah kau sampai Allâh mengambil keputusan atas kasusmu.” Rasul Allâh melarang semua Muslim bicara pada kami, tiga orang dari semua yang memilih tidak pergi melakukan Ghawza. Maka kami diasingkan dari orang2 dan mereka merubah sikap mereka pada kami sampai tanah di maka aku hidup jadi terasa asing bagiku seperti aku tidak pernah mengenalnya. Kami tetap diasingkan selama limapuluh malam. Dua temanku yang lain tetap tinggal dalam rumah2 mereka dan menangis, tapi aku adalah yang termuda diantara mereka dan yang paling tegas, jadi aku tetap pergi ke luar dan melakukan sholat bersama para Muslim dan pergi ke pasar2, tapi tidak seorang pun bicara padaku, dan aku berkunjung pada Rasul Allâh dan mengucapkan salam padanya ketika dia masih duduk dalam perkumpulannya setelah sholat, dan aku heran apakah sang Nabi menggerakkan bibirnya untuk membalas ucapan salamku atau tidak. Lalu aku melakukan sholat di sebelahnya dan diam2 menengoknya. Ketika aku sibuk melakukan sholat, dia menoleh padaku, tapi ketika aku menolehkan wajah padanya, dia memalingkan muka. Ketika perlakuan kasar orang2 ini berlangsung lama, aku berjalan sampai aku mencapai tembok kebun Abu Qatada yang adalah saudara misanku dan orang yang kusayangi, dan aku mengucapkan salam baginya. Demi Allâh, dia tidak membalas salamku. Aku berkata, “Wahai Abu Qatada! Aku mohon padamu demi Allâh! Tidakkah kau tahu aku mencintai Allâh dan RasulNya?” Dia tetap saja diam. Aku berkata lagi padanya, memohonnya demi Allâh, tapi dia tetap diam. Lalu aku bertanya lagi padanya dalam nama Allâh. Dia berkata, “Allâh dan RasulNya lebih mengetahui.” Setelah itu airmataku membanjir dan aku berbalik dan melompati tembok.”
Ketika empat puluh dari lima puluh malam berlalu, perhatikanlah! Rasul Allâh datang padaku dan berkata, ‘Rasul Allâh memerintahkan kamu untuk menjauhkan diri dari istrimu, ‘ Aku berkata, “Haruskah aku menceraikannya; bagaimana kalau tidak! Apa yang harus kulakukan?” Dia berkata, “Tidak, hanya bersikap menjauhlah dari padanya dan jangan bersetubuh dengannya.” Sang Nabi juga menyampaikan hal yang sama kepada kedua temanku. Maka aku katakan pada istriku, “Pergilah ke orangtuamu dan tetaplah tinggal bersama mereka sampai Allâh memberikan keputusan atas masalah ini.” Ka’b menambahkan, “Istri Hilal bin Umaiya datang kepada sang Rasul dan berkata, “Wahai Rasul Allâh! Hilal bin Umaiya adalah orang tua tak berdaya yang tidak punya pelayan yang membantunya. Apakah kau tidak suka jika aku melayaninya?” Dia berkata, “Tidak, kau boleh melayaninya, tapi dia tidak boleh mendekat padamu.” Dia berkata, “Demi Allâh, dia tidak berminat apapun. Demi Allâh, dia tidak pernah berhenti menangis sampai hari ini sejak masalahnya terjadi.”
Mendengar hal itu, beberapa anggota keluargaku berkata padaku, “Tidakkah kau juga meminta Rasul Allâh untuk mengijinkan istrimu melayanimu karena dia mengijinkan istri Hilal bin Umaiya melayaninya?” Aku berkata, “Demi Allâh, aku tidak akan minta ijin Rasul Allâh tentang istriku, karena aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Rasul Allâh jika aku meminta dia mengijinkan istriku melayaniku karena aku masih muda.” Lalu aku tetap berada dalam keadaan itu sampai sepuluh malam kemudian sampai genap lima puluh malam Rasul Allâh melarang orang2 bicara pada kami. Ketika aku melakukan sholat Fajr di pagi hari ke limapuluh di atap salah satu rumah2 kami dan aku sedang duduk sesuai yang dinyatakan Allâh (dalam Qur’an), hatiku seakan bersuara dan bumi tampak lebih dekat padaku dengan segala kelapangannya, di saat itu aku mendengar suara orang yang bagaikan naik gunung Sala’ dan memanggil dengan suaranya yang paling keras, “Wahai Ka’b bin Malik! Bergembiralah dengan menerima salam hangat.” Aku jatuh bersujud di depan Allâh, karena mengetahui pengampunan telah tiba. Rasul Allâh mengumumkan penerimaan pertobatan kami oleh Allâh ketika dia melakukan sholat Fajr. Orang2 keluar menyelamati kami. Orang2 mulai menerima kami dalam kelompok, mengucapkan selamat padaku karena Allâh telah menerima pertobatanku, sambil berkata, “Kami ucapkan selamat karena Allâh menerima pertobatanmu.” [311]
[311] Bukhari Volume 5, Book 59, Number 702
Muhammad menerangkan kisah ini dalam Qur’an:
(Dan Dia juga mengampuni) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Q. 9:118)
Seperti yang dapat dilihat di kisah di atas, Muhammad punya kontrol mutlak atas pengikutnya. Suasana Medina telah berubah sama sekali. Dia bisa memerintahkan para pengikutnya untuk mengasingkan seorang dari kaum mereka, saudara mereka sendiri, dan bahkan melarang orang ini untuk bersetubuh dengan istri2 mereka. Kontrol psikologis ini sangat kuat sehingga beberapa orang takut bohong atau mencari-cari alasan. Muhammad tidak mungkin tahu apa yang dipikirkan orang lain, apakah alasan yang mereka ajukan benar atau tidak. Tapi dia membuat mereka percaya tuhannya tahu pikiran mereka sehingga membuat mereka merasa tak berdaya dan bisa dikuasai sepenuhnya olehnya. Ini adalah bentuk kontrol yang paling utama. Sang “Abang Besar” yang tak terlihat tidak hanya mengawasi perbuatanmu, tapi dia juga mengamati pikiranmu. Tidak ada yang lebih melumpuhkan daripada kontrol kejiwaan seperti ini.
Muhammad menciptakan sistem yang paling kuat untuk mengontrol manusia dan pikiran2 mereka, kontrol yang berlangsung selama 1400 tahun. Jika kontrol ini tidak diubah, maka hal ini akan terus berlangsung selamanya, menggerogoti dan menghancurkan hak azasi manusia yang utama yakni kebebasan berpikir dan memutuskan sendiri.
Menyinggung mereka yang punya alasan kuat dan tidak dihukum seperti ketiga orang tersebut, Muhammad menulis ayat2 berikut:
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu. (Q. 9:95-96)
Muhammad tidak bisa tahu apakah alasan2 orang ini benar atau tidak, sehingga dengan peringatan ini, dia mengancam mereka yang berbohong padanya dengan hukuman illahi yang berat. Kontrol pikiran ini mujarab selama orang tetap mudah ditipu untuk percaya pada kebohongan2 pemimpin aliran sesat. Begitu orang berhenti percaya kebohongan pemimpin narsisis, maka pemimpin itu kehilangan kontrol sama sekali. Saat ini para Muslim masih di bawah kontrol Muhammad karena mereka mempercayainya. Rasa takut ancaman neraka telah melumpuhkan kemampuan mereka untuk berpikir. Pikiran untuk meragukan Muhammad membuat bulu kuduk mereka merinding dan mereka lalu cepat2 melupakan pikiran itu.
Osherow menulis: “Mari mundur selangkah dulu. Proses pergi ke Jonestown tentunya tidaklah mudah, karena beberapa hal terjadi secara bersamaan. Misalnya, Jim Jones punya kekuatan untuk mengancam melakukan hukuman apapun yang diinginkannya di Kenisah Rakyat, dan terutama di saat akhir, di suasana brutal dan teror tersebar di Jonestown. Tapi Jones secara hati2 mengontrol bagaimana hukuman dilaksanakan. Dia seringkali memanggil anggotanya untuk setuju menerima pukulan2. Mereka diperintah untuk bersaksi di depan jemaat, anggota bertubuh besar disuruh memukul anggota bertubuh lebih kecil, para istri atau pacar dipaksa menghina pasangannya secara seksual, dan orangtua2 diminta setuju dan ikut membantu memukuli anak2 mereka (Mills, 1979; Kilduff and Javers, 1978). Hukumannya semakin lama semakin sadis, pukulan semakin keras sampai anggotanya pingsan dan menderita memar2 selama berminggu-minggu. Donald Lunde adalah ahli jiwa yang mengamati tindakan2 yang sangat brutal dan dia menjelaskan: ‘Begitu kau melakukan sesuatu yang besar, sangat sukar mengaku bahkan pada dirimu sendiri bahwa kau telah melakukan kesalahan, dan secara tak sadar kau akan berusaha keras untuk merasionalkan apa yang telah kau lakukan. Ini adalah mekanisme bela diri yang cerdik yang dimanfaatkan oleh pemimpin2 berkarisma." [Newsweek, 1978a]
Keterangan langsung akibat proses kejadian ini disampaikan oleh Jeanne Mills. Pada suatu pertemuan, dia dan suaminya dipaksa menyetujui pemukulan anak perempuan mereka sebagai hukuman pelanggaran kecil. Dia menghubungkan efek kejadian ini pada anaknya, sang korban, juga pada dirinya sendiri sebagai salah satu pihak yang melakukan pemukulan:
Ketika kami menyetir pulang, setiap orang di mobil diam saja. Kami taku kata2 kamu akan menambah ketegangan. Satu2nya suara berasal dari Linda yang menangis pelan2 di tempat duduk belakang. Ketika kami tiba di rumah, Al dan aku duduk bicara bersama Linda. Dia merasa terlalu sakit untuk duduk. Dia berdiri diam pada saat kami bicara padanya. “Bagaimana perasaanmu terhadap apa yang terjadi padamu malam ini?” Al bertanya padanya. “Bapak (Jones) memang benar menghukum cambuk padaku, “ jawab Linda. “Aku sangat nakal akhir2 ini, aku banyak melakukan hal yang salah. Aku yakin Bapak tahu semua itu, dan itulah sebabnya dia memukuli banyak kali seperti itu.” Kami mencium anak kami dan mengucapkan selamat malam, tapi kepala kami masih terasa pening. Sukar sekali rasanya untuk berpikir jernih dalam keadaan yang sangat memusingkan seperti itu. Linda telah jadi korban, tapi hanya kami saja yang merasa marah akan hal itu. Dia sendiri tidak merasa benci dan marah. Malah sebaliknya, dia merasa Jim sebenarnya menolongnya. Kami tahu Jim telah melakukan hal yang kejam terhadapnya, tapi semua orang berlaku bagaikan dia melakukan hal penuh kasih dengan mencambuki anak kami yang tidak taat. Tidak seperti orang kejam menyakiti anak2, Jim tampak tenang, penuh kasih, ketika dia melihat pemukulan dan menghitung berapa pukulan yang telah dilakukan. Pikiran kami tidak dapat mengerti semua keadaan ini karena semua keterangan yang kami terima tidak benar.
Keterangan dari luar terbatas, dan keterangan dari dalam Kenisah Rakyat rancu semua. Dengan membenarkan tindakan2 dan ketaatan2 sebelumnya, maka dasar untuk memberi kesetiaan mutlak sudah terbentuk.
Hanya beberapa bulan saja setelah kami meninggalkan Kenisah Rakyat kami akhirnya menyadari tebalnya kepompong yang menyelubungi kami. Hanya pada saat itu saja kami menyadari kepalsuan, sadisme, dan penjajahan emosi dari si penipu ulung. [312]
[312] Mills, J. Six years with God. New York: A & W Publishers, 1979.
Kesaksian Jeanne Mills dalam banyak hal serupa dengan kesaksian eks-Muslim. Para eks-Muslim ini mengaku bahwa mereka tidak menyadari penindasan yang mereka alami ketika masih jadi muslim. Hanya setelah mereka meninggalkan Islamlah tindakan penindasan dan kontrol pikiran yang dialami menjadi jelas tampak. Muslimah yang menikahi Muslim seringkali jadi korban kekerasan rumah tangga, sama halnya dengan wanita non-Muslim yang menikahi Muslim. Akan tetapi, Muslimah seringkali tidak menyadari terjadinya penindasan pada dirinya karena sudah terbiasa akan hal ini sejak kecil. Dia melihat ibunya sendiri dipukuli, begitu pula bibinya, dan wanita2 lain yang dikenalnya. Hal ini adalah normal baginya dan dia pun menerima pemukulan atas dirinya tanpa mengeluh. Wanita non-Muslim yang menikahi Muslim, biasanya datang dari keluarga yang tidak biasa melihat penindasan, pemukulan, dan penghinaan atas wanita. Bagi mereka, menikah dengan Muslim terasa lebih menekan dibandingkan wanita yang terlahir dan dibesarkan sebagai Muslimah. Para Muslimah ini malah seringkali membela hak suaminya untuk memukulnya.
Ada orang2 Kristen, Yahudi, atau Hindu yang meninggalkan agamnya. Akan tetapi setelah itu mereka tidak merasa marah atau benci dengan agama mereka yang dulu. Ketika Muslim murtad, mereka meninggalkan Islam dengan perasaan pahit dalam hatinya. Hal ini terjadi karena mereka merasa telah dijadikan korban Islam. Hal ini tidak terjadi pada orang2 lain yang meninggalkan agamanya, mereka tidak merasa marah terhadap nabi2 mereka yang dulu. Tapi eks-Muslim jadi sangat membenci Muhammad. Kesadaran bahwa mereka dulu ditipu sangatlah menyakitkan.
Osherow menulis: “Beberapa jam sebelum dibunuh, pejabat Kongres (MPR AS) Ryan menerangkan keanggotaan Kenisah Rakyat: “Aku bisa katakan padamu sekarang bahwa dari beberapa percakapan dengan orang2 di sini, ada sebagian orang yang percaya bahwa hal ini adalah hal yang terbaik yang pernah terjadi dalam hidup mereka.” [Sorak-sorai dan tepuk tangan terdengar di latar belakang] (Krause, 1978). Banyaknya orang lain yang setuju dan surat2 yang mereka tulis menunjukkan bahwa perasaan ini dirasakan pula oleh anggota2 yang lain.”
Islam, sama seperti Kenisah Rakyat, menarik orang2 yang mudah dipengaruhi dalam masyarakat, yakni mereka yang merasa tertekan dan butuh tujuan hidup. Dalam masyarakat Barat, di mana individualitas sangat terasa ekstrim, terdapat perasaan kesepian. Islam memberi mualaf perasaan kebersamaan. Islam memberi mereka tawaran lain untuk melihat hidup mereka, memberi arah, perasaan dimiliki, perasaan lebih unggul dari non-Muslim, tapi semua itu harus dibayar mahal sekali. Bayarannya adalah pengasingan diri dari budaya dan negara mereka, sampai bahkan mereka tega menolak keluarga sendiri dan kawan2nya yang dulu, dan inilah yang lalu menjadi kehancuran dirinya. Islam, sama seperti Kenisah Rakyat, mengajarkan pengikutnya takut akan segala hal dan semua yang berada di luar kepercayaan mereka dan menganggap orang tak percaya sebagai “musuh.” Sama seperti para pengikut Jones, orang2 Muslim sejati benci segala hal yang tidak Islami. Bagi mereka, Islam adalah satu2nya jalan yang benar dan yang lainnya harus dihancurkan. Muslim merasa curiga pada non-Muslim dan sangat percaya dengan teori konspirasi yang dilakukan “setan2 Barat yang kejam”. Aku telah mendengar banyak Muslim berpendidikan tinggi yang cerdas yang benar2 menyangka penyerangan terhadap Pentagon dan WTC di New York pada tanggal 11 September, 2001, adalah hasil karya CIA dan Zionis. Kelumpuhan intelektual separah ini hanya bisa dicapai jika kau menjadi korban aliran sesat.
Setelah semakin lama dicuci otak, kau secara perlahan-lahan mulai merasa sebagai korban kaum kafir. Kau telah kehilangan jati diri mereka, dan jadi anggota tanpa nama dari ummah (masyarakat Islam), jadi budak Allâh. Kau mulai melihat dunia dengan pandangan lain. Perasaan “kami” lawan “mereka” menjadi semakin kuat setiap hari. “Mereka” adalah orang2 jahat, musuh2 Allâh. Mereka adalah para penindas dan penjahat. Semua non-Muslim, terutama yang bukan sealiran Islam denganmu, dianggap bagian dari musuh Allâh. “Kami” adalah orang2 yang ditindas, orang2 yang dijahati dan merupakan korban musuh Allâh. “Kami” adalah Muslim sejati, yang melakukan kehendak dan pekerjaan Allâh. Lalu kau mulai percaya bahwa kau punya iman dan agama sejati yang memerintahkan dirimu untuk berperang, membunuh musuh yang menekanmu dan kau harus bersikap keras terhadap mereka. Kau diberitahu bahwa Allâh akan membuatmu menang, dan kau akan menerima upah sensual abadi di surga.
Seorang “Muslim moderat” bisa jadi ekstrimis dan teroris dalam waktu semalam saja. Selama Muslim percaya pada Islam, setiap Muslim punya potensi jadi teroris. Islam memerintahkan pengikutnya untuk membunuh non-Muslim demi nama Allâh. Ini adalah kewajiban suci yang unik dalam Islam. Memang benar, Allâh berkata dia paling mencintai Mujahidin (pejuang Islam). Mereka adalah para Muslim terbaik. Merekalah yang akan mendapat upah yang terbaik dan tererotis di surga. Para “moderat Muslim” hanyalah para munafik dan lemah imannya. Indoktrinasi perlahan adalah modus operandi (cara kerja) semua aliran sesat, di mana kebenaran sejati dan rencana asli aliran itu ditutupi dan disuapkan perlahan-lahan kepada penganutnya. Perkataan anggota2 utama aliran ini sangat berbeda sama sekali pada dunia luar dan pada anggota kelompoknya sendiri.
Osherow menulis: “Setelah perlahan-lahan meningkatkan tuntutannya, Jones dengan hati2 mengatur agar anggotanya mulai tahu tentang “upacara kematian akhir.” Dia menggunakan ketaatan mutlak mereka agar mereka bersedia melakukan hal ini. Setelah berhasil melakukan tugas ringan, maka orang itu pun setuju untuk melakukan tugas yang lebih besar, dan hal ini diakui oleh ahli jiwa sosial dan para salesman (penjual barang dagangan). [304] Dengan melakukan tugas awal ini maka hal yang awalnya terasa tidak masuk akal jadi lebih diterima akal, dan ini juga mendorong orang untuk setuju melakukan tuntutan yang lebih besar pula.”
[304] Freeman, J., AND Fraser, S. Setuju tanpa Tekanan: Teknik Menarik Hati Orang. Journal of Personality and Social Psychology, 1966, 4, 195-202.
Osherow menerangkan bagaimana Jones mempersiapkan pengikutnya secara perlahan untuk mau melakukan bunuh diri massal. “Dia mulai mempertanyakan iman anggota yang percaya kematian harus dilawan dan ditakuti dan Jones lalu mengatur beberapa latihan bunuh diri “palsu”. Hal ini jadi ujian iman apakah anggotanya bersedia mengikuti Jones bahkan sampai mati. Jones akan meminta anggotanya apakah mereka siap mati dan di suatu waktu dia meminta anggotanya “memutuskan” nasib mereka sendiri dengan memberi suara apakah mereka mau melakukan tuntutan2nya. Seorang bekas anggota mengatakan bahwa suatu saat, sambil tersenyum Jones berkata, “Ya, ini adalah pelajaran yang baik. Kulihat kau tidak mati.” Caranya mengatakannya bagaikan kita perlu waktu 30 menit untuk melakukan penelaahan diri yang sangat kuat. Kami semua merasa benar2 mengabdi dan bangga akan diri kami. Jones mengajarkan bahwa adalah suatu hal yang mulia untuk mati bagi apa yang kau percayai, dan itulah yang sebenarnya kulakukan.” [305]
[305] Winfrey, C. Mengapa 900 Orang Mati di Guyana. New York Times Magazine, February 25, 1979.
Muhammad tidak minta pengikutnya bunuh diri. Sebaliknya, dia memuji-muji mati syahid. Sang Nabi Allâh lebih praktis dibandingkan Jones. Tindakan bunuh diri tiada gunanya baginya. Dia perlu anggotanya hidup agar bisa berperang baginya, memberinya harta jarahan dan menaklukkan dunia baginya. Dia memuliakan mati syahid di medan2 pertempuran. Kepraktisan Muhammad tampak jelas jika melihat kenyataan bahwa Jones dan berbagai pemimpin aliran sesat melakukan bunuh diri bersama-sama pengikutnya, sedangkan Muhammad jarang ikut berjuang aktif bersama2 pengikutnya di medan tempur.
Semua orang waras bisa dengan mudah melihat bahwa mengobarkan perang dan membunuhi orang2 tak berdosa dalam nama Tuhan adalah tindakan orang sakit jiwa, tapi tidak demikian dalam pandangan Muslim, bahkan “moderat” sekalipun. Jihad merupakan pilar utama Islam dan semua Muslim yang tidak setuju bukanlah Muslim lagi. Inilah sebabnya mengapa istilah “Muslim moderat” sebenarnya adalah menentang arti istilah itu sendiri (oxymoron). Tiada seorang Muslim pun yang dapat disebut moderat jikalau dia mengikuti ideologi yang memerintahkan pembunuhan terhadap non-Muslim. Perbedaan antara Muslim teroris dan Muslim moderat adalah Muslim teroris melakukan jihad saat ini juga, sedangkan Muslim moderat berpendapat mereka harus menunggu sampai menjadi lebih kuat dan baru setelah itu melakukan jihad. Pada prinsipnya, tiada seorang Muslim pun yang dapat tidak setuju dengan konsep jihad.
Bagaimana mungkin semilyar orang waras percaya pada ajaran gila ini? Jawabannya bisa didapatkan di Jonestown.
Osherow menulis: “Setelah Kenisah Rakyat pindah ke Jonestown, latihan bunuh diri yang disebut sebagai ‘Malam2 Putih’ dilakukan berkali-kali. Latihan yang tampaknya gila ini dilakukan secara teratur, dan membuat anggota Kenisah Rakyat menjadi terbiasa.”
Para anggota Kenisah Rakyat adalah orang2 normal. Mereka tidak sakit jiwa atau gila. Akan tetapi, karena mereka meletakkan intelijens mereka di tangan orang gila, maka mereka pun mengikuti kegilaannya secara membuta.
Osherow menulis: “Pembaca mungkin bertanya apakah latihan2 bunuh diri ini membuat para anggota berpikir bahwa bunuh diri betulan akan benar2 terjadi. Tapi ada banyak tanda bahwa mereka tahu bahwa di upacara akhir mereka minum racun sungguhan. Peristiwa puncaknya terjadi pada kedatangan politikus Ryan, munculnya beberapa orang yang murtad, para juru masak yang dulu tidak ikut serta latihan sekarang jadi ikut, Jones semakin marah, tertekan, dan tidak terduga, dan akhirnya, setiap orang melihat bayi pertama mati. Para anggota tertipu karena mereka tidak menyangka latihan kali ini ternyata benar2 mematikan.”
Osherow menjelaskan di bawah keadaan seperti itu, orang2 cenderung membenarkan tindakan mereka, termasuk melakukan kekerasan yang diperintahkan pemimpinnya. Tulisnya, “Contoh dramatis akibat pembenaran diri berhubungan dengan hukuman fisik yang diterapkan di Kenisah Rakyat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ancaman pukulan dan hinaan, membuat para anggota tunduk pada perintah2 Jones. Seseorang akan taat selama dia diancam dan diamati. Akan tetapi, untuk mempengaruhi seseorang, ancaman lunak terbukti lebih mujarab daripada ancaman keras [306] dan pengaruhnya tampak lebih lama [307]. Di bawah ancaman lunak, seseorang cenderung sukar bereaksi keras terhadap larangan ringan, dan dia cenderung mengubah kelakuannya untuk membenarkan reaksi dirinya yang tidak melawan. Ancaman keras menghasilkan sikap tunduk, tapi hal ini hanya sikap luar, sedangkan dalam dirinya tidak terjadi perubahan sikap. Reaksi yang berbeda terjadi ketika tidak jelas apakah suatu tindakan diharapkan pada seseorang. Pada saat seseorang merasa dia berperan aktif dalam menyakiti orang lain, dalam dirinya muncul motivasi yang membenarkan tindakan kejamnya terhadap korban karena merasa korban sudah selayaknya dihukum. [308]
[306] Aronson, E. , AND Carlsmith, J. M. Akibat ancaman keras pada pengamatan kelakuan terlarang. Journal of Abnormal and Social Psychology, 1963, 66. 584-588.
[307] Freedman, J. Akibat jangka panjang disonansi kognitif (melogiskan hal yang bertentangan). Journal of Experimental Social Psychology, 1965, 1, 145-155.
[308] Davos, K., AND Jones, E. Changes in interpersonal perception as a means of reducing cognitive dissonance. Journal of abnormal and Social Psychology, 1960, 61, 402-410.
Keterangan ini sangatlah penting. Di Jonestown para anggota sendiri akan mencela rekan mereka yang tidak tunduk, terutama sanak keluarga mereka, dan menghukum mereka. Tindakan kejam bagi orang normal terasa sangat mengganggu. Untuk mengurangi sakitnya nurani mereka sendiri, maka mereka mencoba merasionalkan kekejeman mereka dengan menyalahkan korban dan menganggap korban layak dihukum. Muslim diwajibkan memerangi non-Muslim dan bahkan orangtua, saudara, sanak keluarga mereka yang non-Muslim. Tindakan kekerasan dan kekejaman mereka itu dihalalkan dan dirasionalkan. Muslim diajar bahwa kekerasan terhadap non-Muslim dan sikap tak bertoleran itu sesuai dengan keinginan Illahi dan hukum suci Islam. Hal ini tidak hanya dapat diterima Muslim tapi diminati pula. Ketika Muslim menyerang orang2 tak bersalah dan membantai mereka, Muhammad meyakinkan mereka dengan berkata, “Bukan kalian yang melakukannya; tapi Allâh yang melakukannya.”
Wartawan BBC bernama James Reynolds mewawancara Hussam Abdo, usia 15 tahun, pembom bunuh diri yang agak menderita mental terbelakang yang tertangkap di pos pemeriksaan Israel. Dia ditanyai: “Ketika kau mengenakan sabuk bom itu, apakah kau benar2 tahu ke mana kau akan pergi dan membunuh orang2, bahwa kau akan mendatangkan banyak penderitaan terhadap para ibu dan bapak, bahwa kau akan melakukan pembunuhan massal? Apakah kau benar2 mengetahui hal itu?”
Hussam menjawab:
“Ya. Sama saja seperti mereka datang dan membuat para orangtua kami sedih dan menderita, maka mereka pun harus merasakan hal ini. Sama seperti yang kami rasakan – mereka pun harus merasakan hal ini pula.”
Dia ditanya, “Apakah kau takut mati?”
Jawabannya sama dengan yang dikatakan pengikut Jones di menit2 terakhir hidup mereka.
“Tidak. Aku tidak takut mati.”
“Kenapa?”
“Tiada yang hidup selamanya. Kita semua akhirnya akan mati.”
Sebuah kisah disampaikan oleh Abu Hodhaifa yang adalah Muslim Mekah usia muda yang ikut dalam perang Badr. Ayahnya ada di pihak lawan yakni Quraish. Dilaporkan bahwa Muhammad memerintahkan pengikutnya untuk tidak membunuh Abbas, pamannya sendiri, yang juga berada di pihak Quraish. Hodhaifa menaikkan suaranya, “Apa? Masakan kita membunuh ayah, saudara, paman kita sendiri tapi harus menahan diri untuk tidak membunuh Abbas? Tidak, aku pasti akan membunuhnya jika aku menemuinya.” Sewaktu mendengar komentar melawan ini, Omar, seperti biasanya dalam menunjukkan kesetiannya, mencabut pedangnya dan melihat pada sang Nabi menunggu tanda perintah untuk seketika memancung anak muda tak tahu aturan ini. [309]
[309] Muir; The Life of Mohammet Vol. III Ch. XII, Page 109.
Ancaman ini mendatangkan akibat seketika. Kelakuan Hodhaifa dengan cepat berubah dan kita lihat di akhir pertempuran, dirinya jadi tunduk dan berbeda. Ketika dia melihat ayahnya dibunuh dan mayatnya diseret untuk dibuang ke dalam sumur, dia tidak tahan dan mulai menangis. “Kenapa?” tanya Muhammad, “Apakah kau sedih dengan kematian ayahmu?” Tidak begitu, wahai Rasul Allâh!” jawab Hodhaifa, “Aku tidak ragu akan keadilan atas nasib ayahku; tapi aku kenal benar hatinya yang bijaksana dan pemurah, dan aku dulu percaya Tuhan akan membimbingnya memeluk Islam. Tapi sekarang aku melihat dia mati, dan harapanku punah! – itulah mengapa aku bersedih.” Kali ini Muhammad senang akan jawabannya, dan dia menghibur Abu Hodhaifa, memberkatinya; dan berkata, “Itu baik.” [310]
[310] Muir; The Life of Mohammet Vol. III Ch. XII, Page 109; (Waqidi, p. 106; Sirat p. 230; Tabari, p. 294)
Sikap tidak suka Muhammad terhadap bantahan Hodhaifa dan reaksi cepat Omar untuk mengancam membunuhnya di tempat itu juga, merupakan stimuli (pengaruh) kuat yang mengakibatkan Hodhaifa berubah perangai seketika dan sehari kemudian dia bahkan melihat “keadilan” atas kematian ayahnya. Begitu Hodhaifa kehilangan ayahnya, yang dibunuh oleh teman2nya sendiri, maka tidak ada jalan kembali baginya. Dia harus membenarkan apa yang dilakukannya dan merasionalkan pembunuhan ayahnya. Menemukan nalarnya dan menghadapi rasa bersalah nuraninya terlalu menyakitkan. Dia harus terus melanjutkan jalan yang ditempuhnya dan meyakinkan dirinya bahwa Islam itu benar atau menghadapi rasa bersalah seumur hidup.
Para pemimpin aliran sesat punya kemampuan sangat cerdik untuk mengontrol pikiran2 pengikutnya. Seperti yang dikatakan Hitler, kebohongan2 yang besar lebih mudah dipercaya oleh orang banyak, dan pemimpin aliran sesat psikopat adalah biang pembuat kebohongan besar.
Ada kisah yang disampaikan oleh Abdullah bin Ka’b bin Malik yang menunjukan kontrol seperti apa yang diterapkan Muhammad pada pengikutnya, baik secara psikologis maupun sosial. Ibn Ka’b berkata bahwa dia adalah Muslim taat dan telah menemani Muhammad dalam seluruh kegiatan perampokannya sehingga dia jadi kaya raya. Tapi ketika Muhammad memanggil pengikutnya untuk bersiap menyerang kota Tabuk di tengah2 musim panas di mana buah2an sedang ranumnya, maka Ibn Ka’b memilih tidak ikut pergi. Setelah kembali dari Tabuk, Muhammad memanggil mereka yang tidak ikut pergi dan menanyakan alasannya. Banyak yang punya alasan kuat sehingga mereka diampuni. Tapi ibn Ka’b dan dua orang Muslim lain tidak berani bohong untuk mencari alasan. Ibn Ka’b berkata:
“Memang benar, demi Allâh, aku tidak punya alasan apapun. Demi Allâh, aku tidak pernah sekuat dan sekaya ini dibandingkan dulu ketika aku tetap di belakangmu.” Maka Rasul Allâh berkata, “Tentang orang ini, sudah jelas dia jujur. Maka pergilah kau sampai Allâh mengambil keputusan atas kasusmu.” Rasul Allâh melarang semua Muslim bicara pada kami, tiga orang dari semua yang memilih tidak pergi melakukan Ghawza. Maka kami diasingkan dari orang2 dan mereka merubah sikap mereka pada kami sampai tanah di maka aku hidup jadi terasa asing bagiku seperti aku tidak pernah mengenalnya. Kami tetap diasingkan selama limapuluh malam. Dua temanku yang lain tetap tinggal dalam rumah2 mereka dan menangis, tapi aku adalah yang termuda diantara mereka dan yang paling tegas, jadi aku tetap pergi ke luar dan melakukan sholat bersama para Muslim dan pergi ke pasar2, tapi tidak seorang pun bicara padaku, dan aku berkunjung pada Rasul Allâh dan mengucapkan salam padanya ketika dia masih duduk dalam perkumpulannya setelah sholat, dan aku heran apakah sang Nabi menggerakkan bibirnya untuk membalas ucapan salamku atau tidak. Lalu aku melakukan sholat di sebelahnya dan diam2 menengoknya. Ketika aku sibuk melakukan sholat, dia menoleh padaku, tapi ketika aku menolehkan wajah padanya, dia memalingkan muka. Ketika perlakuan kasar orang2 ini berlangsung lama, aku berjalan sampai aku mencapai tembok kebun Abu Qatada yang adalah saudara misanku dan orang yang kusayangi, dan aku mengucapkan salam baginya. Demi Allâh, dia tidak membalas salamku. Aku berkata, “Wahai Abu Qatada! Aku mohon padamu demi Allâh! Tidakkah kau tahu aku mencintai Allâh dan RasulNya?” Dia tetap saja diam. Aku berkata lagi padanya, memohonnya demi Allâh, tapi dia tetap diam. Lalu aku bertanya lagi padanya dalam nama Allâh. Dia berkata, “Allâh dan RasulNya lebih mengetahui.” Setelah itu airmataku membanjir dan aku berbalik dan melompati tembok.”
Ketika empat puluh dari lima puluh malam berlalu, perhatikanlah! Rasul Allâh datang padaku dan berkata, ‘Rasul Allâh memerintahkan kamu untuk menjauhkan diri dari istrimu, ‘ Aku berkata, “Haruskah aku menceraikannya; bagaimana kalau tidak! Apa yang harus kulakukan?” Dia berkata, “Tidak, hanya bersikap menjauhlah dari padanya dan jangan bersetubuh dengannya.” Sang Nabi juga menyampaikan hal yang sama kepada kedua temanku. Maka aku katakan pada istriku, “Pergilah ke orangtuamu dan tetaplah tinggal bersama mereka sampai Allâh memberikan keputusan atas masalah ini.” Ka’b menambahkan, “Istri Hilal bin Umaiya datang kepada sang Rasul dan berkata, “Wahai Rasul Allâh! Hilal bin Umaiya adalah orang tua tak berdaya yang tidak punya pelayan yang membantunya. Apakah kau tidak suka jika aku melayaninya?” Dia berkata, “Tidak, kau boleh melayaninya, tapi dia tidak boleh mendekat padamu.” Dia berkata, “Demi Allâh, dia tidak berminat apapun. Demi Allâh, dia tidak pernah berhenti menangis sampai hari ini sejak masalahnya terjadi.”
Mendengar hal itu, beberapa anggota keluargaku berkata padaku, “Tidakkah kau juga meminta Rasul Allâh untuk mengijinkan istrimu melayanimu karena dia mengijinkan istri Hilal bin Umaiya melayaninya?” Aku berkata, “Demi Allâh, aku tidak akan minta ijin Rasul Allâh tentang istriku, karena aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Rasul Allâh jika aku meminta dia mengijinkan istriku melayaniku karena aku masih muda.” Lalu aku tetap berada dalam keadaan itu sampai sepuluh malam kemudian sampai genap lima puluh malam Rasul Allâh melarang orang2 bicara pada kami. Ketika aku melakukan sholat Fajr di pagi hari ke limapuluh di atap salah satu rumah2 kami dan aku sedang duduk sesuai yang dinyatakan Allâh (dalam Qur’an), hatiku seakan bersuara dan bumi tampak lebih dekat padaku dengan segala kelapangannya, di saat itu aku mendengar suara orang yang bagaikan naik gunung Sala’ dan memanggil dengan suaranya yang paling keras, “Wahai Ka’b bin Malik! Bergembiralah dengan menerima salam hangat.” Aku jatuh bersujud di depan Allâh, karena mengetahui pengampunan telah tiba. Rasul Allâh mengumumkan penerimaan pertobatan kami oleh Allâh ketika dia melakukan sholat Fajr. Orang2 keluar menyelamati kami. Orang2 mulai menerima kami dalam kelompok, mengucapkan selamat padaku karena Allâh telah menerima pertobatanku, sambil berkata, “Kami ucapkan selamat karena Allâh menerima pertobatanmu.” [311]
[311] Bukhari Volume 5, Book 59, Number 702
Muhammad menerangkan kisah ini dalam Qur’an:
(Dan Dia juga mengampuni) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Q. 9:118)
Seperti yang dapat dilihat di kisah di atas, Muhammad punya kontrol mutlak atas pengikutnya. Suasana Medina telah berubah sama sekali. Dia bisa memerintahkan para pengikutnya untuk mengasingkan seorang dari kaum mereka, saudara mereka sendiri, dan bahkan melarang orang ini untuk bersetubuh dengan istri2 mereka. Kontrol psikologis ini sangat kuat sehingga beberapa orang takut bohong atau mencari-cari alasan. Muhammad tidak mungkin tahu apa yang dipikirkan orang lain, apakah alasan yang mereka ajukan benar atau tidak. Tapi dia membuat mereka percaya tuhannya tahu pikiran mereka sehingga membuat mereka merasa tak berdaya dan bisa dikuasai sepenuhnya olehnya. Ini adalah bentuk kontrol yang paling utama. Sang “Abang Besar” yang tak terlihat tidak hanya mengawasi perbuatanmu, tapi dia juga mengamati pikiranmu. Tidak ada yang lebih melumpuhkan daripada kontrol kejiwaan seperti ini.
Muhammad menciptakan sistem yang paling kuat untuk mengontrol manusia dan pikiran2 mereka, kontrol yang berlangsung selama 1400 tahun. Jika kontrol ini tidak diubah, maka hal ini akan terus berlangsung selamanya, menggerogoti dan menghancurkan hak azasi manusia yang utama yakni kebebasan berpikir dan memutuskan sendiri.
Menyinggung mereka yang punya alasan kuat dan tidak dihukum seperti ketiga orang tersebut, Muhammad menulis ayat2 berikut:
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu. (Q. 9:95-96)
Muhammad tidak bisa tahu apakah alasan2 orang ini benar atau tidak, sehingga dengan peringatan ini, dia mengancam mereka yang berbohong padanya dengan hukuman illahi yang berat. Kontrol pikiran ini mujarab selama orang tetap mudah ditipu untuk percaya pada kebohongan2 pemimpin aliran sesat. Begitu orang berhenti percaya kebohongan pemimpin narsisis, maka pemimpin itu kehilangan kontrol sama sekali. Saat ini para Muslim masih di bawah kontrol Muhammad karena mereka mempercayainya. Rasa takut ancaman neraka telah melumpuhkan kemampuan mereka untuk berpikir. Pikiran untuk meragukan Muhammad membuat bulu kuduk mereka merinding dan mereka lalu cepat2 melupakan pikiran itu.
Osherow menulis: “Mari mundur selangkah dulu. Proses pergi ke Jonestown tentunya tidaklah mudah, karena beberapa hal terjadi secara bersamaan. Misalnya, Jim Jones punya kekuatan untuk mengancam melakukan hukuman apapun yang diinginkannya di Kenisah Rakyat, dan terutama di saat akhir, di suasana brutal dan teror tersebar di Jonestown. Tapi Jones secara hati2 mengontrol bagaimana hukuman dilaksanakan. Dia seringkali memanggil anggotanya untuk setuju menerima pukulan2. Mereka diperintah untuk bersaksi di depan jemaat, anggota bertubuh besar disuruh memukul anggota bertubuh lebih kecil, para istri atau pacar dipaksa menghina pasangannya secara seksual, dan orangtua2 diminta setuju dan ikut membantu memukuli anak2 mereka (Mills, 1979; Kilduff and Javers, 1978). Hukumannya semakin lama semakin sadis, pukulan semakin keras sampai anggotanya pingsan dan menderita memar2 selama berminggu-minggu. Donald Lunde adalah ahli jiwa yang mengamati tindakan2 yang sangat brutal dan dia menjelaskan: ‘Begitu kau melakukan sesuatu yang besar, sangat sukar mengaku bahkan pada dirimu sendiri bahwa kau telah melakukan kesalahan, dan secara tak sadar kau akan berusaha keras untuk merasionalkan apa yang telah kau lakukan. Ini adalah mekanisme bela diri yang cerdik yang dimanfaatkan oleh pemimpin2 berkarisma." [Newsweek, 1978a]
Keterangan langsung akibat proses kejadian ini disampaikan oleh Jeanne Mills. Pada suatu pertemuan, dia dan suaminya dipaksa menyetujui pemukulan anak perempuan mereka sebagai hukuman pelanggaran kecil. Dia menghubungkan efek kejadian ini pada anaknya, sang korban, juga pada dirinya sendiri sebagai salah satu pihak yang melakukan pemukulan:
Ketika kami menyetir pulang, setiap orang di mobil diam saja. Kami taku kata2 kamu akan menambah ketegangan. Satu2nya suara berasal dari Linda yang menangis pelan2 di tempat duduk belakang. Ketika kami tiba di rumah, Al dan aku duduk bicara bersama Linda. Dia merasa terlalu sakit untuk duduk. Dia berdiri diam pada saat kami bicara padanya. “Bagaimana perasaanmu terhadap apa yang terjadi padamu malam ini?” Al bertanya padanya. “Bapak (Jones) memang benar menghukum cambuk padaku, “ jawab Linda. “Aku sangat nakal akhir2 ini, aku banyak melakukan hal yang salah. Aku yakin Bapak tahu semua itu, dan itulah sebabnya dia memukuli banyak kali seperti itu.” Kami mencium anak kami dan mengucapkan selamat malam, tapi kepala kami masih terasa pening. Sukar sekali rasanya untuk berpikir jernih dalam keadaan yang sangat memusingkan seperti itu. Linda telah jadi korban, tapi hanya kami saja yang merasa marah akan hal itu. Dia sendiri tidak merasa benci dan marah. Malah sebaliknya, dia merasa Jim sebenarnya menolongnya. Kami tahu Jim telah melakukan hal yang kejam terhadapnya, tapi semua orang berlaku bagaikan dia melakukan hal penuh kasih dengan mencambuki anak kami yang tidak taat. Tidak seperti orang kejam menyakiti anak2, Jim tampak tenang, penuh kasih, ketika dia melihat pemukulan dan menghitung berapa pukulan yang telah dilakukan. Pikiran kami tidak dapat mengerti semua keadaan ini karena semua keterangan yang kami terima tidak benar.
Keterangan dari luar terbatas, dan keterangan dari dalam Kenisah Rakyat rancu semua. Dengan membenarkan tindakan2 dan ketaatan2 sebelumnya, maka dasar untuk memberi kesetiaan mutlak sudah terbentuk.
Hanya beberapa bulan saja setelah kami meninggalkan Kenisah Rakyat kami akhirnya menyadari tebalnya kepompong yang menyelubungi kami. Hanya pada saat itu saja kami menyadari kepalsuan, sadisme, dan penjajahan emosi dari si penipu ulung. [312]
[312] Mills, J. Six years with God. New York: A & W Publishers, 1979.
Kesaksian Jeanne Mills dalam banyak hal serupa dengan kesaksian eks-Muslim. Para eks-Muslim ini mengaku bahwa mereka tidak menyadari penindasan yang mereka alami ketika masih jadi muslim. Hanya setelah mereka meninggalkan Islamlah tindakan penindasan dan kontrol pikiran yang dialami menjadi jelas tampak. Muslimah yang menikahi Muslim seringkali jadi korban kekerasan rumah tangga, sama halnya dengan wanita non-Muslim yang menikahi Muslim. Akan tetapi, Muslimah seringkali tidak menyadari terjadinya penindasan pada dirinya karena sudah terbiasa akan hal ini sejak kecil. Dia melihat ibunya sendiri dipukuli, begitu pula bibinya, dan wanita2 lain yang dikenalnya. Hal ini adalah normal baginya dan dia pun menerima pemukulan atas dirinya tanpa mengeluh. Wanita non-Muslim yang menikahi Muslim, biasanya datang dari keluarga yang tidak biasa melihat penindasan, pemukulan, dan penghinaan atas wanita. Bagi mereka, menikah dengan Muslim terasa lebih menekan dibandingkan wanita yang terlahir dan dibesarkan sebagai Muslimah. Para Muslimah ini malah seringkali membela hak suaminya untuk memukulnya.
Ada orang2 Kristen, Yahudi, atau Hindu yang meninggalkan agamnya. Akan tetapi setelah itu mereka tidak merasa marah atau benci dengan agama mereka yang dulu. Ketika Muslim murtad, mereka meninggalkan Islam dengan perasaan pahit dalam hatinya. Hal ini terjadi karena mereka merasa telah dijadikan korban Islam. Hal ini tidak terjadi pada orang2 lain yang meninggalkan agamanya, mereka tidak merasa marah terhadap nabi2 mereka yang dulu. Tapi eks-Muslim jadi sangat membenci Muhammad. Kesadaran bahwa mereka dulu ditipu sangatlah menyakitkan.
Osherow menulis: “Beberapa jam sebelum dibunuh, pejabat Kongres (MPR AS) Ryan menerangkan keanggotaan Kenisah Rakyat: “Aku bisa katakan padamu sekarang bahwa dari beberapa percakapan dengan orang2 di sini, ada sebagian orang yang percaya bahwa hal ini adalah hal yang terbaik yang pernah terjadi dalam hidup mereka.” [Sorak-sorai dan tepuk tangan terdengar di latar belakang] (Krause, 1978). Banyaknya orang lain yang setuju dan surat2 yang mereka tulis menunjukkan bahwa perasaan ini dirasakan pula oleh anggota2 yang lain.”
Islam, sama seperti Kenisah Rakyat, menarik orang2 yang mudah dipengaruhi dalam masyarakat, yakni mereka yang merasa tertekan dan butuh tujuan hidup. Dalam masyarakat Barat, di mana individualitas sangat terasa ekstrim, terdapat perasaan kesepian. Islam memberi mualaf perasaan kebersamaan. Islam memberi mereka tawaran lain untuk melihat hidup mereka, memberi arah, perasaan dimiliki, perasaan lebih unggul dari non-Muslim, tapi semua itu harus dibayar mahal sekali. Bayarannya adalah pengasingan diri dari budaya dan negara mereka, sampai bahkan mereka tega menolak keluarga sendiri dan kawan2nya yang dulu, dan inilah yang lalu menjadi kehancuran dirinya. Islam, sama seperti Kenisah Rakyat, mengajarkan pengikutnya takut akan segala hal dan semua yang berada di luar kepercayaan mereka dan menganggap orang tak percaya sebagai “musuh.” Sama seperti para pengikut Jones, orang2 Muslim sejati benci segala hal yang tidak Islami. Bagi mereka, Islam adalah satu2nya jalan yang benar dan yang lainnya harus dihancurkan. Muslim merasa curiga pada non-Muslim dan sangat percaya dengan teori konspirasi yang dilakukan “setan2 Barat yang kejam”. Aku telah mendengar banyak Muslim berpendidikan tinggi yang cerdas yang benar2 menyangka penyerangan terhadap Pentagon dan WTC di New York pada tanggal 11 September, 2001, adalah hasil karya CIA dan Zionis. Kelumpuhan intelektual separah ini hanya bisa dicapai jika kau menjadi korban aliran sesat.