SAFIYAH

Safiyah Bint Huyeiy Ibn Akhtab adalah wanita Yahudi berumur 17 tahun ketika pasukan Muslim menyerang Khaibar dan membawanya pada nabi sebagai bagiannya dalam harta rampasan. Kisah ini termuat dalam buku TABAQAT dan terdapat juga dalam situs Islam yang terpercaya.
http://www.prophetmuhammed.org/
(ketika penulisan ini dibuat banyak situs Islam memuat kisah ini, namun sekarang sudah tidak lagi, walaupun demikian kisah ini cukup mudah dicari dalam hadis).

“Safiyah lahir di Medinah, dibesarkan oleh suku Yahudi Banu 'I-Nadir. Ketika sukunya terusir dari Medinah, A.H. Huyaiy adalah salah seorang yang tinggal bersama-sama di Khaibar dengan Kinana ibn al-Rabi', pria yang menikahi Safiyah tak lama sebelum Muslim menyerang perkampungan baru tersebut. Ia berumur 17 tahun. Ia sebelumnya adalah istri dari Sallam ibn Mishkam, yang menceraikannya (???). Satu mil jauhnya dari Khaibar, sang nabi menikahi Safiyah. Ia dipersiapkan dan didandani oleh Umm Sulaim, ibu dari Anas ibn Malik. Disana mereka berdua bermalam.

Abu Ayyub al-Ansari menjaga tenda sang nabi semalaman dan ketika fajar, nabi melihatnya terus berjaga-jaga. Nabi bertanya alasanya dan ia menjawab, ”Saya khawatir tentang wanita ini denganmu. Anda telah membunuh suami, ayah dan banyak kerabatnya dan sampai saat ini ia masih kafir. Saya sangat menghawatirkan pembalasan darinya.”

Safiyah dikatakan meminta agar nabi menunggu untuk menikahinya di lokasi yang lebih jauh dari Khaibar dengan alasan masih banyak Yahudi yang berkeliaran di sekitarnya. Alasan sebenarnya Safiyah menolak
sangat jelas. Ia memilih untuk berduka daripada harus naik ranjang pada hari yang sama suami, ayah, dan keluarganya terbunuh oleh orang yang
ingin menyetubuhinya. Sikap nabi Allah, yang berumur 57 tahun ini, yang tak dapat menahan birahi untuk satu hari saja dan mengijinkan gadis muda ini berkabung, menunjukkan cara berpikir dan derajad moralnya.

Sejarawan muslim pun mencatat bahwa perkawinan terjadi satu hari setelah Muhamad menyetubuhinya. Ini bukanlah masalah untuk nabi karena Allah telah mengeluarkan ayat yang memperbolehkan hubungan seksual dengan para budak tanpa perkawinan, meskipun mereka telah menikah. “dan semua wanita yang telah menikah (terlarang untukmu) kecuali (budak) yang kamu miliki…(Q. 4:24)

Ayat diatas menunjukkan bahwa nabi tidak mengganggap bahwa budak mempunyai hak apapun. Anda bisa saja wanita yang telah menikah dan berbahagia, namun jika Muhamad dan para pengikutnya menyerang kotamu, kamu akan kehilangan semua hak yang kamu punya dan sementara suamimu dibunuh atau diperbudak, Anda dapat diberikan pada seorang Mujahidin Muslim yang memperkosamu dengan bebas dengan ridho Allah.


Mari kita lanjutkan kisah Safiyah.

Ketika ia dibawa bersama tawanan lainnya, Nabi berkata,”Safiyah, ayahmu selalu memusuhiku, sampai akhirnya Allah sendiri yang menghukumnya.” Dan Safiyah berkata, “Bukankah Allah tidak akan menghukum seseorang karena kesalahan orang lain?”
"Yakni, bahwa tidak ada pendosa yang dapat dibebani oleh beban dosa pendosa lainnya” Q. 53:38

Ini tentu saja bertolak belakang dengan perbuatan Muhamad yang menumpas seluruh Bani Qainuqa dengan dalih mereka membunuh seorang muslim. Dan bukannya Allah yang membunuh ayah Safiyah, melainkan pengikut Muhamad. Hitler saja tidak pernah mengklaim bahwa Tuhanlah yang membantai kaum Yahudi dalam PD II.

“Nabi kemudian memberikannya pilihan : bergabung dng sukunya setelah bebas ATAU menerima Islam dan mengadakan hubungan perkawinan dgn nabi." (Tabaqat)

Kami harus ingat bahwa Muhamad membantai kebanyakan sukunya dan mengusir sisanya yg masih hidup (mungkin karena mereka wanita peot2-ali5196). Jadi Safiyah tidak punya banyak 'plilihan'.

"Ketika Safiyah menikah, ia sangat muda, hampir 17 tahun, sangat cantik. Bukan hanya ia sangat mencintai Muhammad (???) iapun sangat menghormati kenabiannya karena sebelum menikah, ia telah mendengar pembicaraan ayah dan pamannya tentang Muhamad ketika ia baru saja mengungsi ke Medinah. Salah seorang berkata, ”Bagaimana pendapatmu tentang dia?”, jawabnya,”Ia adalah benar nabi yang telah diramalkan oleh kitab kita”, lalu yang lain berkata, ”Lalu apa yang harus dilakukan?” jawabannya adalah mereka harus menentangnya sekuat tenaga. " (Tabaqat)

(Masuk akalkah cerita ini? Bagaimana mungkin dua orang Yahudi yang mengenali Muhamad sebagai orang yang diramalkan dalam kitab mereka (TAURAT) dan kemudian memutuskan untuk MENENTANGNYA ? LOGISKAH INI ? Bukan hanya itu, dimanakah dalam Taurat disebut tentang Muhamad ? Bagaimanakah caranya paman dan ayah Safiyah dengan mudah menemukan ramalan tersebut dalam kitab mereka sedangkan selama 1400 tahun kaum terpelajar muslim tak mampu menemukannya?)

“Safiyah kemudian sadar akan kebenaran nabi. Dengan suka rela ia merawat, menyediakan kebutuhan dan menyenangkan nabi dengan berbagai cara. Hal ini jelas terlihat pada saat kedatangannya kehadapan nabi saat jatuhnya Khaibar.” (Tabaqat)

Anda tidak melihat pernyataan2 bertentangan sang penulis muslim ? Tadinya ia mengatakan bahwa Safiyah ditawan dan diserahkan pada Muhamad sebagai tawanan. Itu berarti Safiyah tidak datang dengan suka-rela, namun ia dibawa ke hadapan sang nabi karena dia masih muda dan tercantik diantara tawanan lainnya.

Bukhari juga mencatat pertemuan Muhamad dengan Safiyah dan pertempuran Khaibar dalam hadis.

Dinarasikan oleh 'Abdul 'Aziz:
"Kata Anas, ketika nabi menyerbu Khaibar orang2 di kota berseru “Muhamad dan pasukannya datang”. Kami mengalahkan mereka semua, menjadikan mereka tawanan dan harta rampokan dikumpulkan. Nabi membunuh para pria yang melawan, membantai anak-anak keturunan merekan dan mengumpulkan para wanita menjadi tawanan (Sahih Bukhari V.5 B.59 N.512).

Kemudian Dihya datang menghadap nabi dan berkata,” Oh Nabi Allah! Berikan aku seorang budak perempuan dari para tawanan.” Nabi berkata, “Pergilah dan ambil budak perempuan yang mana saja.” Ia lalu mengambil Safiya bint Huyai. Namun seorang pria datang pada nabi dan berkata,” Oh nabi Allah, kau memberi Safiya bint Huyai pada Dihya, sedangkan ia adalah istri pemimpin suku Quraiza dan An-Nadir, ia seharusnya adalah milikmu.” Maka nabi berkata, "Bawa dia bersamanya.” Maka Dihya pun datang bersama Safiya, dan nabi berkata, “Carilah budak perempuan lain dari antara para tawanan.” Kemudian nabi mengambil dan mengawini dia.

Thabit lalu bertanya pada Anas, “Apa mahar yang diberikan sebagai mas kawinnya?” Ia berkata "dirinya sendiri merupakan mahar yang harus dibayar ketika nabi menikahinya. Di perjalanan, Um Sulaim mendandaninya untuk upacara pernikahan, dan malamnya ia langsung diantar sebagai pengantin untuk nabi.” (Sahih Bukhari 1.367)

Mahar adalah uang yang diterima pengantin wanita dari pengantin pria saat pernikahan. Muhamad tidak membayar mahar karena ia harus membayarnya pada dirinya sendiri karena menikahi seorang budak. Tentu ironinya adalah ia tidak membeli Safiyah, namun memang memperbudaknya dengan cara menyerbu kota kediamannya. Kisah ini sangat signifikan dalam menilai moral dan etika dari seorag abi Tuhan.

Dan ... ceritanya belon selesai ... lagi2 Muhammad mengejutkan kita dengan ajarannya bahwa dengan menikahi Safiyah dia akan menerima dua imbalan. Pertama, dengan menghindari mahar karena menikahi gadis budak yang diperbudaknya sendiri dengan sengaja, kedua ia dapat 'menikahi' gadis tercantik yang 40 tahun lebih muda darinya.

KESIMPULAN

... Inti permasalahan yang anda lewati adalah bahwa Muhamad mengklaim diri sebagai nabi Tuhan untuk segala zaman dan semua bangsa. Ia memperkenalkan diri sebagai Nabi Terakhir dan Yang Terbaik dari Semuanya. Ia bersikeras bahwa ia mempunyai ”moral yang maha mulia” 68:4, dan ia adalah, “contoh yang harus diikuti” 33:21, ”Maha pengampun semua mahkluk” 21:107 dan ”Nabi yang paling terhormat” 81.19.

Namun berdasarkan apa yang telah kita telusuri, ternyata tidak begitu adanya.

Apakah contoh yang diberikan Muhamad dalam kisah Juwairiyah dan Safiyah sepatutnya diikuti oleh para muslim?

Jika ada menyetujuinya maka para muslim seharusnya menyerang rumah-rumah non-muslim, membunuh mereka dan memperkosa istri2 mereka. Jika anda berkata TIDAK dan tindakan Muhamad pada jaman tersebut tidak dapat diterapkan pada peradaban sekarang, maka semua ayat yang mengatakan bahwa kita harus mengikuti contoh Muhammad menjadi tidak berarti.

Yang menjadi masalah adalah bahwa orang2 muslim tidak konsisten. Apakah kita harus mengikuti contohnya apa tidak? Apakah ia memberi contoh yang baik untuk kemanusiaan untuk diikuti atau tidak? :twisted:

Muhamad bukan hanya figur sejarah. Sebelum menjadi Presiden USA, Washington mungkin meniduri budaknya. Pada jaman tersebut mungkin tindakan itu dianggap biasa, namun tidak ada orang yang mengatakan bahwa tindakannya merupakan contoh yang harus diikuti UNTUK SEGALA JAMAN DAN UNTUK SEMUA BANGSA !

TAMBAHAN:
Masa Iddah dalam Perkawinan Muhammad dan Safiyah
Oleh : Sam Shamoun
http://www.answering-islam.org/Muhammad ... iyyah.html

Quran menyatakan bahwa masa tunggu (idah) bagi janda adalah EMPAT BULAN SEPULUH HARI:

[2.234] Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[2.235] Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.


Ulama Sunni Ahli Tafsir terkenal, Ibn Kathir, menyatakan mengenai wahyu diatas sbb:

Masa Tunggu ('Iddah) seorang janda

Ayat ini berisi perintah dari Allah bagi para istri yang suaminya meninggal, mereka harus menjalani masa tunggu selama EMPAT BULAN SEPULUH HARI, termasuk kasus2 dimana pernikahan (hubungan seks) telah dilakukan ATAU LAINNYA, menurut konsensus para Ulama.

Bukti bahwa aturan ini termasuk juga utk kasus dimana pernikahan tersebut tidak ada DILAKUKAN HUBUNGAN SEKS. Ada dalam sebuah haditsyang dicatat oleh Imam Ahmad dan pengumpul Sunnah, yang oleh At-Tirmidhi anggap Sahih,

Ibn Mas’ud bertanya tentang seorang pria yang menikahi seorang wanita, tapi dia mati sebelum berhubungan seks dengan wanita itu dalam pernikahan. Dia juga tidak (belum) memberi Mahar bagi wanita itu. Mereka terus bertanya pada Ibn Mas’ud mengenai masalah ini sampai dia mengatakan, “Aku akan memberi pendapatku sendiri, dan jika benar maka itu dari Allah, jika salah itu karena kesalahanku sendiri dan karena Setan. Dalam masalah ini, Allah dan UtusanNya lepas dari pendapatku. Wanita itu telah mendapatkan Maharnya.”

Dalam hadis lain, Ibn Mas’ud berkata, “Wanita itu mendapatkan mahar yang sama dengan wanita lain yg berstatus sama, tanpa kebakhilan ataupun berlebihan.” Dia lalu melanjutkan, “Dia harus menghabiskan masa iddah dan punya hak utk mendapatkan warisan.” Ma’qil bin Yasar Ashja’I lalu berdiri dan berkata, “Aku mendengar Rasulallah mengatakan hal yang sama dalam masalah Barwa binti Washiq.” Abdullah bin Mas’ud menjadi sangat senang mendengar pernyataan ini.”

Dalam hadis lain, beberapa orang dari suku Ashja berdiri dan berkata, “Kami bersaksi bahwa Rasulallah mengatakan hal yang sama mengenai masalah Barwa Binti Washiq.”

Sedang utk kasus dimana sang janda yang ditinggal mati suami ketika hamil, masa Iddahnya berakhir ketika dia sudah melahirkan, bahkan jika kelahiran itu terjadi segera setelah sang suami meninggal. Aturan ini diambil dari pernyataan Allah…

[QS 65.3] Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.

Juga ada sebuah hadis dari Subayah Al-Aslamiyah dalam dua Sahih, lewat beberapa rantai periwayat. Suaminya, Sa’d bin Khawlah meninggal ketika dia masih hamil dan melahirkan hanya beberapa hari setelah kematian suaminya. Ketika dia selesai masa nifas, dia mempercantik diri bagi mereka yang bermaksud mendekatinya (utk dinikahi). Lalu, Abu Sanabil bin Ba’kak mendekatinya dan berkata, “Kenapa kulihat kau mempercantik diri, apa kau ingin menikah, demi Allah! Kau tidak akan menikah sampai empat bulan sepuluh hari telah berlalu.” Subayah berkata, “Ketika dia mengatakan itu padaku, aku mengumpulkan pakaianku waktu malam turun dan menemui Rasulallah dan bertanya mengenai hal ini. Dia bilang bahwa masa Iddahku telah selesai ketika aku melahirkan dan mengijinkan aku utk menikah lagi jika aku mau.” (Sumber: http://tafsir.com/default.asp?sid=2&tid=6309).

Ibn Kathir juga menyebut salah satu alasan kenapa perioda 'Iddah ini dijelaskan demikian adalah utk melihat apakah si wanita itu hamil atau tidak.

Kebijakan dibelakang memberlakukan masa Iddah

Said bin Musayyib dan Abu al-Aliyah menyatakan bahwa kebijakan dibelakang aturan Iddah utk janda, yaitu menunggu selama EMPAT BULAN SEPULUH HARI adalah bahwa kemungkinan rahim sang janda mengandung bayi bekas/mendiang suaminya. Ketika wanita menunggu selama ini, akan terbukti apakah dia hamil atau tidak. Sama juga ada hadis dalam Dua Sahih yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud yg menyatakan:

Penciptaan manusia dibentuk dalam rahim ibunya dalam empat puluh hari dalam bentuk benih, lalu menjadi segumpal darah utk perioda yang sama, dan lalu terbentuk daging dalam waktu yang sama lamanya. Lalu Allah mengirim malaikat yang diperintahkan utk meniupkan kehidupan pada janin itu.

Jadi, empat bulan sepuluh hari itu utk meyakinkan, karena satu bulan mereka kurang dari 30 hari, dan janin akan mulai terlihat dari luar setelah jiwa ditiupkan kedalamnya. Allah Maha Tahu.
(sumber: http://tafsir.com/default.asp?sid=2&tid=6317 )

Alasan kenapa kita tahu bahwa ini sebenarnya tujuan utama dari masa tunggu itu, tapi bukan maksud utama dalam turunnya ayat masa tunggu ini, karena:

a) Quran tidak membuat tujuan dari turunnya ayat ini secara jelas, dan

b) Ibn Kathir berkata bahwa masa tunggu ini harus diperhatikan bahkan oleh si janda yang TIDAK melakukan hubungan sex dengan bekas suaminya. Ulama muslim terkenal lain, Abu Ala Mawdudi secara mendasar menjelaskan kembali posisi yang terakhir sejak dia menulis referensi akan ayat Quran sbb:

259. Masa tunggu karena kematian suami adalah kewajiban BAHKAN BAGI WANITA YANG BELUM MELAKUKAN HUBUNGAN SEX KETIKA MENIKAH DENGAN SUAMI YANG MENINGGAL TSB. Tapi wanita hamil, dikecualikan dari ini. Masa tunggu habis jika ia melahirkan, meski waktu antara kematian suami dan kelahiran lebih pendek dari masa iddah yang diharuskan.

Umar, Usman, Ibn Umar, Zayd ibn Thabit, Ibn Mas’ud, Umm Salamah, Said ibn Musayyib, Ibrahim ibn al-Nakha’I, Muhammad ibn Sirin dan pendiri dari empat sekolah hukum sama berpendapat bahwa selama masa 'iddah, wanita harus tinggal dirumah dimana sang suami meninggal. Diwaktu siang dia boleh keluar jika perlu saja, tapi tempat tinggalnya harus menjadi rumahnya.

Sebaliknya, Aisya, Ibn Abbas, Ali, Jabir ibn Abdullah, Ata, Ta’us, Hasan al Basri, Umar ibn Abdul Azis dan Zahiri berpendapat bahwa janda boleh menghabiskan masa iddahnya dimanapun dia suka, dan boleh bepergian pula… ([i]Mawdudi, Towards Understanding the Qur’an: English Version of Tafhim al-Qur’an
, terjemahan dan edit oleh Zafar Ishaq Ansari [The Islamic Foundation, Leicestershire, United Kingdom, Reprinted 1995], Volume I, Surahs 1-3, pp. 182-183;)


Pada dasarnya ini berarti bahwa seorang janda HARUS menunggu lewatnya masa 'iddah, terlepas apakah ia perawan atau tidak, terlepas dari ia hamil atau tidak.

Disinilah masalahnya. Muhammad dengan jelas melanggar perintah ini ketika dia menikahi wanita Yahudi, Safiyah, yang ayah dan suaminya dibunuh oleh Muhammad, karena dia tidak menunggu sampai masa 'Iddah Safiyah habis sebelum menikahinya:

Sahih Bukhari Volume 5, Buku 59, Nomor 524
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
Kami sampai di Khaibar dan ketika Allah menolong Rasulnya utk membuka benteng, kecantikan dari Safiyah binti Huyai bin Akhtaq yang suaminya telah terbunuh disebutkan pada Rasulallah. Nabi memilih wanita itu untuk dirinya sendiri, dan ketika kami sampai disatu tempat bernama Sidd-as-Sahba, Safiyah telah bersih dari mens-nya ketika Rasulallah menikahi dia. Hais (makanan Arab) disiapkan dalam tatakan kulit. Lalu sang nabi berkata padaku, “Aku undang orang2 disekitarmu.” Jadi itu adalah pesta perkawinan antara nabi dan Safiya. Lalu kami melanjutkan perjalanan ke Medinah, dan kulihat sang Nabi, membuatkan utk istri barunya semacam tempat duduk dari jubahnya dibelakang dia (pada untanya). Dia lalu duduk disamping ontanya dan menyiapkan lututnya utk diinjak Safiyah naik ke unta.
http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamental ... 05.059.522

Sahih Bukhari Volume 5, Buku 59, nomor 524
Diriwayatkan oleh Anas:
Sang Nabi tinggal selama tiga malam antara Khaibar dan Medinah dan menikahi Safiyah. Saya mengundang para muslim pada pesta pernikahannya dan tidak ada daging maupun roti dalam pesta itu tapi sang nabi memerintahkan Bilal utk menyiapkan tatakan kulit dimana kurma, yogurt kering dan mentega ditempatkan. Para muslim berkata satu sama lain, “Akankah dia (Safiyah) jadi salah seorang Ibu orang2 Beriman (Umul Mukminin/istri nabi) atau hanya (wanita tawanan/budak) yang berhak dimiliki oleh tangan kanan?” Sebagian berkata, “Jika sang nabi membuat dia memakai cadar, maka dia akan jadi Ibu Orang2 Beriman, jika tidak, maka hanya jadi budak perempuan saja.” Lalu ketika dia berangkat, dia menyediakan tempat bagi Safiyah dibelakang dia (diatas unta) dan membuat dia memakai cadar.
http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamental ... 05.059.524

Juga diriwayatkan kurang lebih dengan cerita yang sama dalam Sahih al-Bukhari volume 7 buku 65 no 336 ( http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamental ... 07.065.336 ) dan Sahih Muslim, Buku 008 nomor 3328 ( http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamental ... l#008.3328 )

Perhatikan tulisan dari Ibn Ishaq:

Sang nabi menjarah harta dan menaklukan benteng satu persatu ketika ia menyerang kesana. Yang pertama jatuh adalah benteng Na’im; disana Mahmud b. Maslama terbunuh oleh batu gerinda yang dilempar padanya; lalu al-Qamus benteng dari Abu’l Huqayq. Sang nabi menangkap tawanan dimana diantaranya terdapat Safiyah d. Huyayy b. Akhtab yang menjadi istri dari Kinana b. al-Rabi’ b. Abu’l Huqayq dan dua keponakannya. Sang nabi memilih Safiyah untuk dirinya sendiri.

Dihya b. Khalifa al-Kalbi meminta Safiyah dari sang nabi, dan ketika dia memilih Safiyha utk dirinya sendiri dia berikan dua keponakan Safiyah pada Dihya. Wanita2 Khaibar lainnya dibagikan diantara para muslim. Para muslim makan daging keledai Khaibar dan nabi berdiri dan melarang orang2 beberapa hal (The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasulullah The Life of Muhammad, with introduction and notes by Alfred Guillaume [Oxford University Press, Karachi, tenth impression 1995], p. 511)

Ketika rasul menikahi Safiyah di perjalanan dari Khaibar, dia telah dipercantik dan disisir dan dibuat sehat bagi sang nabi oleh Ummi Sulaym d Milhan, ibu dari Anas b. Malik, rasul menghabiskan malam bersama Safiyah ditendanya. Abu Ayyub, Khalid b Zayd saudara dari B. Al-Najjar menghabiskan malam berjaga-jaga dg pedang siap hingga pagi, sang nabi bertanya kenapa dia melakukan itu. Dia menjawab, “Aku takut wanita ini akan membunuhmu karena kau telah membunuh ayahnya, suaminya dan kerabat2nya, dan belum lama dia masih seorang tidak percaya (islam), jadi aku takut akan nyawamu.” Mereka bilang sang nabi berkata “O Allah, jagalah Abu Ayyub karena dia menghabiskan semalaman menjagaku.” (The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasulullah The Life of Muhammad, with introduction and notes by Alfred Guillaume [Oxford University Press, Karachi, tenth impression 1995], p. 516-517)

Dia menikahi Safiyah d. Huyayy b. Akhtab yang dia tangkap di Khaibar dan dipilihnya utk dirinya sendiri. Sang rasul pesta dengan korma dan hais karena tidak ada daging saat itu. Dia telah menikah sebelumnya dengan Kinana b al-Rabi’b Abul-Huqayq (The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasulullah The Life of Muhammad, with introduction and notes by Alfred Guillaume [Oxford University Press, Karachi, tenth impression 1995], p. 793-794)


Dan:

Kinana al-Rabi, yang menyimpan harta dari Suku Nadir, dibawa kehadapan rasul yang bertanya tentang harta itu. Dia bilang tidak tahu tempat penyimpanan harta itu. Seorang Yahudi mendekati (dalam Hadis Tabari ditulis “dibawa”) kepada rasul dan yahudi itu berkata bahwa ia melihat Kinana berkeliaran direruntuhan setiap pagi2 buta. Ketika rasul mengatakan ini kepada Kinana, “Tahukah kau jika kami mendapatkan kau menyimpan harta itu aku akan membunuhmu?” Dia berkata “Ya”. Rasul memerintahkan reruntuhan itu digali dan beberapa harta lalu ditemukan. Ketika dia tanya harta lainnya dia menolak mengatakannya, jadi sang Rasul memerintahkan al-Zubayr al-Awwam, “Siksa dia sampai dia mengatakan tempat persembunyian harta itu.” Maka al-Zubayr mengambil kayu dan menyalakannya lalu menempelkannya didada Kinana sampai dia hampir mati. Lalu sang Rasul menyuruh bawa dia pada Muhammad b. Maslama dan memancungnya, sebagai balasan dendam atas saudaranya Mahmud. (The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasulullah The Life of Muhammad, with introduction and notes by Alfred Guillaume [Oxford University Press, Karachi, tenth impression 1995], p. 515)

Perhatikan implikasi dari referensi diatas. Safiyah adalah anak dari pemimpin Suku Yahudi dan istri dari pemegang harta suku yang dibunuh oleh pengikut Muhammad atas perintahnya. Hadis diatas membuat kita tahu bahwa hanya dalam beberapa hari setelah semua kekejian brutal ini dilakukan terhadap keluarga Safiyah, Safiyah jatuh cinta :shock: :shock: :shock: dengan orang yang melakukan pembantaian itu semua, membunuh ayahnya, suaminya disiksa lalu dibunuh, kerabatnya dibunuh, sukunya dibantai ????! Dalam cerita ini, apakah orang akan sungguh2 percaya bahwa seorang wanita waras akan mau menikahi pembunuh biadab ini ?

Terlebih lagi, ada pelanggaran isu hukum yg serius disini. Muhammad LANGSUNG menikahi Safiyah, hanya beberapa hari setelah dia dijadikan janda oleh Muhammad sendiri, dg demikian melanggar perintah yang Tuhannya turunkan bahwa seorang janda harus menunggu selama EMPAT BULAN SEPULUH HARI sebelum menikah kembali.

Mungkin pihak muslim akan enak saja berkata bahwa Safiyah cuma seorang tawanan (bukan wanita bebas) maka aturan normal (bagi wanita bebas) tidak bisa diterapkan untuknya. Ada dua masalah dengan jawaban ini. Pertama, Quran membuat pernyataan UMUM dan tidak membedakan larangan Iddah bagi wanita bebas ataupun bukan budak. Perintah Quran itu INKLUSIF dan diterapkan bagi SEMUA wanita yang menikah, bebas atau budak sekalipun.

Malah, hadis sendiri mengatakan bahwa TAWANAN SEKALIPUN harus menunggu masa 'iddah:

Abu Said al-Khudri mengatakan: Rasulallah mengirim ekspedisi militer ke Awta ketika Perang Hunain. Mereka bertemu musuh dan bertempur. Mereka mengalahkan dan menawan musuh. Beberapa sahabat Rasul ragu utk berhubungan seks dengan tawanan wanita dihadapan suami2 mereka yang kafir. Jadi Allah, yang Mulia, menurunkan ayat Quran, “[4.24] dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki ...” Artinya, mereka itu sah bagimu JIKA MEREKA TELAH MELEWATI MASA IDDAH. (Sunan Abu Dawud Buku 11, Volume 2, nomor 2150, halaman 577, terjemahan inggris dengan catatan penjelasan oleh Prof. Ahmad Hasan [Sh. Muhammad Ashraf Publishers, Booksellers & Exporters; Lahore, Pakistan, 1984)

Dibawah ini mungkin kisah kenapa hadis berikut disebutkan bahwa sebagian muslim mengasumsikan bahwa Safiyah dikirim pada rumah Ummi Sulayman utk diawasi masa iddahnya (diterjemahkan sebagian):

Sahih Muslim, Buku 008, nomor 3328
… Allah, Yang Maha Kuasa dan Mulia, mengalahkan mereka (penghuni Khaibar) dan disana muncul bagi Dihya, seorang wanita cantik jelita, dan Rasulallah (saw) mendapatkan dia dengan penukaran tujuh kepala, lalu mempercayakannya pada Ummi Sulayman agar dia bisa menyiapkan Safiyah utk dinikahi dengannya. Dia (periwayat) berkata: Dia mendapat kesan bahwa Dia berkata demikian agar Safiyah menghabiskan masa Iddahnya dirumah Ummi Sulayman
http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamental ... l#008.3328

Penerjemah Inggris dari Hadis Sahih Muslim, Abdul Hamid Siddiqi, berkata dalam catatan kakinya mengenai kata Iddah, artinya:

1872. Ini adalah masa tunggu yang diharuskan bagi seorang wanita sebelum memasuki pernikahan baru. (Sahih Muslim oleh Imam Muslim Volume I dan II, halaman 72, diterjemahkan kedalam bahasa inggris oleh Abdul Hamid Siddiqi [Kitab Bhavan Exporters & Importers, New Delhi-India, cetakan ke 11, 1995])

Ada beberapa hadis dan sumber2 yang mengatakan bahwa masa iddah bagi budak atau tawanan wanita adalah satu kali masa menstruasi, atau ketika dia mendapat menstruasi pertamanya atau jika dia hamil, maka sampai dia melahirkan. TAPI ini menimbulkan masalah karena mengkontradiksi Quran yang tidak membuat perkecualian dalam aturan iddah bagi janda, mati ataupun cerai. Quran tidak menjelaskan bahwa aturan ini tidak berlaku jika sang wanita adalah budak atau tawanan.
Bisa dikatakan bahwa sumber2 islami mengisyaratkan bahwa bahkan wanita tawanan sekalipun harus menjalankan masa iddah, dan Quran memberi jangka waktunya dengan jelas.

[CATATAN Penerjemah: Ada yg tidak sependapat bahwa budak harus menunggu masa iddah mengingat ayat diatas : Jadi Allah, yang Mulia, menurunkan ayat Quran, “[4.24] dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki ...” Kalau ini memang benar, kita harus telaah lagi, benarkan Safiyah dianggap sbg BUDAK atau orang bebas/Ibu Orang Beriman saat menikahi Muhammad ? Mari kita telaah lagi dibawah ini : ]

Kedua, sumber2 muslim menyatakan dengan jelas bahwa Muhammad telah membebaskan Safiyah agar bisa dia nikahi:

Sahih al-Bukhari, Volume 7, Buku 62, nomr 23
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik
Rasulallah membebaskan Safiyah lalu menikahinya dan Mahar dia adalah pembebasan dirinya, dan dia mengadakan pesta perkawinan dengan Hais (jenis makanan Arab).
http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamental ... 07.062.023

Juga disebutkan dalam hadis Sahih Muslim Buku 008, nomor 3325, bahwa Safiyah dibebaskan dari posisi budak utk dinikahi rasul (diterjemahkan sebagian):

Sahih Muslim Buku 008, nomor 3325
.. Muncullah Dihya dan dia berkata: Rasulallah, serahkanlah padaku wanita tawanan itu. Rasulallah berkata: Pergilah dan ambil perempuan lain. Dia memilih Safiyah anak dari Huyayy b. Akhtab. Datang seseorang pada Rasulallah dan berkata: Rasulallah, kau mengambil Safiyah bint Huyayy, kepala dari Bani Quraiza dan al-Nadir, dan dia hanya pantas bagimu. Dia berkata: Panggil dia bersama-sama perempuan itu. Jadi dia datang bersama perempuan itu. Ketika rasulallah melihat wanita itu dia berkata: Ambil perempuan lain diantara tawanan. Dia (periwayat) berkata: Dia (Nabi Suci) lalu membebaskannya dari perbudakan dan menikahinya. Thabit berkata padanya: Abu Hamza, berapa banyak mahar yang rasul berikan padanya? Dia berkata: Dia memberinya kebebasan lalu menikahinya. Diperjalanan Ummi Sulayman menyiapkan dia dan mengirim wanita itu pada rasul pada malam harinya. Rasulallah muncul sebagai pengantin pria DIPAGI HARINYA. Dia berkata: Mereka yang punya makanan utk dimakan harus membawanya. Lalu kain dihamparkan. Ada orang yang datang dengan keju, yang lain dengan kurma, dan ada yang bawa mentega. Dan mereka menyiapkan Hais dan itulah pesta perkawinan Rasulallah.
http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamental ... l#008.3325

Dengan demikian, Safiyah bukan lagi budak ketika Muhammad menikahinya.

Keberatan lain yang mungkin adalah bahwa seorang muslim mungkin berkata bahwa Safiyah adalah orang Yahudi dan masa iddah tidak berlaku baginya. Kesalahan jawaban ini bisa disangkal dengan fakta bahwa ayat Quran tidak membuat perbedaan antara istri muslim dengan istri Yahudi dan Kristen, sebuah poin yang dijelaskan oleh ayat berikut ini:

[QS 5.5] Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Jelaslah, aturan pernikahan, perceraian, janda dll yang sama diterapkan juga bagi wanita Kristen dan Yahudi yang dinikahi oleh muslim.

Lebih jauh lagi, pernikahan Muhammad dengan Safiyah membuat Safiyah menjadi salah seorang Ibu Orang2 Beriman:

[QS 33.6] Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

Gelar ini memberinya status seorang Muslimah karena istri yang tidak percaya tidak bisa menjadi ibu orang beriman (muslim).

DENGAN DEMIKIAN INI SECARA MEYAKINKAN MENUNJUKKAN BAHWA MUHAMMAD JELAS-JELAS TIDAK MELAKUKAN APA YANG DIPERINTAHKAN ALLAH & Qurannya, DAN GAGAL UTK MENGIKUTI PERINTAHNYA SENDIRI YANG DIA PAKSAKAN PADA ORANG LAIN.