Hidup orang beriman itu berat karena penuh pertentangan bathin dan harus menjalankan berbagai aturan ibadah agama tiada arti yang harus dilakukannya tanpa banyak tanya. Dia pelan2 harus tunduk dalam kehidupan ini. Osherow menulis: “Keterlibatan seorang anggota dalam Kenisah Rakyat tidak dimulai di Jonestown, tapi jauh lebih awal daripada itu, dekat dengan rumah mereka pribadi, dan tidak sedramatis di Jonestown. Awalnya, anggota2 itu mendatangi pertemuan2 secara sukarela dan menyempatkan diri beberapa jam setiap minggu bekerja di gereja Jim Jones. Meskipun anggota2 lama akan mengajak anggota baru untuk bergabung, tapi mereka bisa bebas memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Jika mau bergabung, maka anggota itu akan lebih bertekad setia pada Kenisah Rakyat. Sedikit2, Jones menambah perintahnya pada setiap anggota. Setelah lama jadi anggota, barulah Jones mulai meningkatkan sikapnya yang menindas dan tuntutan2 dalam pesan2nya. Sedikit demi sedikit, pilihan lain bagi anggota dikurangi. Langkah demi langkah, orang itu tergerak untuk melogiskan pengabdiannya dan membenarkan perbuatannya.”

Mereka yang jadi mualaf (Muslim baru) juga melaporkan hal yang sama. Perubahan dalam diri mereka berlangsung perlahan. Begitu mereka mulai lebih terlibat, tingkat tuntutan pelan2 meningkat. Para wanita diberitahu bahwa menutupi rambut mereka bukanlah kewajiban, tapi merupakan hal yang suci untuk dilakukan. Lalu anggota baru disuruh menahan diri agar makan makanan halal, melakukan sholat, puasa, berzakat dan pelan2 mereka ditunjukkan nilai2 luhur dan iming2 hadiah jihad. Jihad ini harus dilakukan oleh setiap Muslim. Karena para mualaf biasanya penuh semangat untuk diterima dalam kelompok Muslim, maka mereka mau saja berbuat apapun yang diperintahkan dan bahkan mencoba lebih beribadah daripada mereka yang terlahir Muslim. Ini sama dengan kata pepatah “lebih katolik daripada Paus sekalipun.”

Indoktrinasi ini begitu perlahan sehingga mualaf merasa mereka melakukan hal ini secara sukarela. Mereka akhirnya akan melakukan hal2 yang dulu mereka rasa sangat konyol. Seorang ex-Muslimah Amerika menulis padaku bahwa ketika dia pertama kali melihat sekelompok Muslimah mengenakan burqa hitam sekujur tubuh, dia tertawa dan merasa kasihan pada mereka. Akhirnya dia memeluk Islam dan mulai mengenakan burqa (neqab) yang bahkan menutupi wajahnya. Aku mengenal wanita ini di internet karena dia membuat website yang mempromosikan Islam dan menghinaku. Dia memperingatkan Muslim lain untuk tidak membaca tulisan2ku. Tentunya dia sendiri tidak melakukan anjurannya sendiri karena dia tidak tahan untuk tidak membaca tulisan2ku. Akhirnya kebenaran menerpanya dan dia meninggalkan Islam sama sekali. Dia menjelaskan padaku bagaimana dirinya tersedot dalam Islam sampai2 dia mengajak suaminya yang non-Muslim memeluk Islam dan mengambil istri baru.

Di dunia nyata, aku bertemu para Muslimah yang dicuci otaknya sedemikian parah sehingga mereka membela pernyataan Muhammad bahwa wanita itu bodoh dan lebih rendah daripada pria, sedangkan di saat yang sama, mereka yakin sekali Islam memerdekakan wanita. Iman jelas merupakan narkotik yang melumpuhkan nalar.

Alasan2 orang jadi mualaf mungkin karena mereka mengira doktri monotheisme itu menarik atau mungkin pula karena mereka ingin jadi anggota “persaudaraan” yang besar. Apapun alasannya, para mualaf itu dalam waktu singkat akan menjadi pembenci Yahudi dan lalu negara mereka sendiri (terutama mereka yang tinggal di negara non-Islam). Tak lama kemudian mereka akan membenci orangtua mereka yang non-Muslim dan menjauhkan diri dari kawan2 non-Muslim. Demi memenuhi kewajiban agama, akhirnya mereka menjadi seorang jihadis dan teroris dan dengan senang hati melakukan pengorbanan akhir yakni mati syahdir (martir).

Seorang Kanada yang jadi mualaf tapi lalu murtad dan kembali memeluk agama aslinya, menulis pengalamannya dulu sebagai Muslim:

Islam yang asli sukar dicerna bagi kafir sehingga untuk membuat banyak orang tertarik pada dakwah Islam, maka Muslim menyesuaikan prinsip2 Islam agar sesuai dengan harapan kafir yang mendengarnya. Islam moderat yang disesuaikan yang dulu membuatku tertarik dan masuk Islam harus disesuaikan lagi agar tampak aslinya. Di mesjid lokal aku selalu disalami dan dipeluk. Hal menyenangkan ini tidak kualami di rumah, terutama dari ibuku yang selalu tidak puas akan prestasiku dan ayah yang tidak peduli atas kemajuanku. Karena bujukan saudara2 Muslimku, aku ingin unggul dalam beribadah Islam; mungkin menikah dan menguasai penuh bahasa Arab dan jadi mujahidin (dalam jihad) dan mati syahid.

Begitu masuk Islam, mualaf jadi begitu mudah dibohongi dan naif, sehingga dengan menerima saja segala tingkah laku dan propaganda Islam yang tidak masuk akal yang mempengaruhi masyarakat Muslim. Kami tidak mau bergaul dengan kafir dan menolak semua yang tidak Islami. Seorang mualaf menyatakan Osama bin Laden lebih baik daripada “sejuta George Bush” dan “seribu Tony Blairs” hanya karena Osama itu Muslim. Kami dengan sombong mengaku sebagai “orang2 terbaik dari seluruh umat manusia” (3:110). Sehingga jika kejadian kekerasan terjadi dan jelas dilakukan oleh Muslim demi nama Allaah, maka kami semua merasa puas. Kami mendukung pelanggaran kemanusiaan di negara2 Muslim, bahkan jika korbannya adalah Muslim pula. Teori2 konspirasi yang menyebar di masyarakat Muslim benar2 ngawur. Tidak ada seorang Muslim pun, bahkan yang moderat sekalipun, yang mau mengakui pelaku2 Muslim 9/11. Seperti yang dikatakan rekan kelasku dari Afghanistan, “Itu pasti perbuatan orang2 Yahudi!” Jika terjadi peristiwa yang membuat orang cenderung melakukan kritik sendiri, kami bukannya melakukan kritik diri itu tapi malah menyalahkan Yahudi, kambing hitam favorit kami. Kami menyatukan diri jadi bagian ummah Islam dan sama2 mendukung agenda politik Arab Muslim, membiarkan janggut tumbuh, menyatakan kebencian pada Yahudi, sering mengucapkan kata bid’ah (mengutuk modernisme), dan melawan negara Islam. Kami dengan bangga mengaku kebenaran jihad, tapi bersikap bodoh jika seorang kafir bertanya tentang teror yang dilakukan jihadis dan lebih memilih menjawab, misalnya, “Bagaimana kau tahu itu dilakukan oleh Muslim? Mana buktinya?” Meskipun kami tidak buta terhadap videotape2 kesaksian teroris Muslim, kami memilih membutakan diri saja. Tidak semua Muslim jadi teroris, tapi kebanyakan teroris adalah Muslim. Jika orang2 Amerika dan Yahudi mati, para Muslim bersuka cita. Hal ini jelas kulihat dari diri seroang Muslimah yang baru berusia lima tahun. Para mualaf secara buta menerima saja segala intrepetasi Islam yang kolot yang diajarkan imigran Muslim. Mereka mengajarkan Islam sebagai agama yang melarang ijtihaad (diskusi bebas) guna memberangus orang2 yang berpikir kritis dan agar agama mereka tetap berkuasa.
[291]
[291] www.faithfreedom.org/Testimonials/Abdulquddus.htm

Jeanne Mills [292], anggota Kenisah Rakyat yang berhasil melepaskan diri dua tahun sebelum aliran sesat itu pindah ke Guyana, menulis pengalamannya di bukunya yang berjudul Six Years with God (Enam Tahun bersama Tuhan) (1979). Dia menulis: “Setiap kali aku menceritakan pada seseorang tentang masa enam tahunku menjadi anggota Kenisah Rakyat, aku menghadapi pertanyaan yang tidak bisa kujawab: Jika gereja itu sedemikian jelek, mengapa dong kau dan keluargamu tetap jadi anggota untuk waktu yang sangat lama?” Osherow berkata, “Beberapa pengamatan lama dari penyelidikan kejiwaan sosial tentang proses pembenaran diri dan teori penerimaan hal yang tidak disetujui (cognitive dissonance) dapat menjelaskan perbuatan yang tampaknya tidak rasional.”
[292] Lihat Aronson, E. The social animal (3rd ed.) San Francisco: W. H. Freeman and Company, 1980. AND Aronson, E. Teori disonansi kognitif: Perspektif Masa Kini. In L. Berkowitz (ed.), Advances in experimental social psychology. Vol. 4, New York: Academic Press, 1969.

John Walker Lindh dikenal sebagai “Taliban Amerika.” Dia adalah anak muda yang pergi ke Afghanistan untuk bergabung dengan Al Qaida dan melawan tentara negaranya sendiri. Dia tidak jadi teroris hanya dalam waktu semalam saja. Ketertarikan John pada Islam dimulai di usia 12 tahun. Ibunya membawanya nonton film yang disutradarai Spike Lee yang berjudul “Malcolm X.” Majalah Time mengutip perkataan ibu Lindh, “Hatinya tergerak melihat adegan orang2 segala bangsa menyembah pada Tuhan.”

Tidak ada yang peduli untuk memberitahu anak muda ini akan bahaya Islam. Sebaliknya, dia malah mendapat restu dan ijin dari orangtuanya untuk memeluk Islam, karena kedua orangtuanya juga tidak tahu apa2 tentang Islam. Majalah Time edisi 29 September, 2002 menulis: “Orangtua John senang melihat anaknya menemukan sesuatu yang menarik hatinya. Pada jaman itu orangtua2 lain yang mereka kenal bergulat dengan masalah anak2 mereka yang terlibat obat bius, ngebut, minum. Hal ini membuat mereka mengira ketertarikan anak mereka terhadap Islam bukanlah masalah apapun. Ibu John yang bernama Marilyn biasa mengantar anaknya ke mesjid untuk sembahyang Jum’at. Di petang hari, seorang Muslim akan mengantar John pulang.”

Masyarakat Amerika yang penuh toleransi juga tidak melihat apapun yang salah jika seorang anak muda Amerika memeluk Islam. Dia berjalan dengan baju Islamnya yang aneh di jalanan, dan orang2 Amerika lainnya tidak menegurnya. “Ini dianggap sebagai anak muda mencoba sesuatu yang baru dalam hidupnya, dalam diri rohaninya, dan ini tentunya bukan hal yang mengerikan atau layak dibenci,” demikian laporan majalah Time.

Bukannya menyelidiki tentang Islam yang sebenarnya, ayah John malahan membiarkan dirinya ditipu oleh “keramahan budaya Islam oleh para Muslim.” Hal ini sendiri merupakan tanda2 peringatan sifat kultis Islam. Anggota2 aliran2 sesati biasanya luar biasa “ramah” dan ramah terhadap mereka yang mendukung agama mereka. Ayah John tidak mampu melihat bahaya Islam dan malah berusaha “menghargai” agama anaknya. Suatu hari dia memberitahu anaknya, “Kukira kau tidak benar2 memeluk Islam, tapi menemukannya di dalam dirimu; kau menemukan dirimu yang Muslim.”

Orang tua John dan seluruh rakyat Amerika yang gampang percaya tidak menyadari bahwa John yang masih muda ini pelan2 mengalami cuci otak dan indoktrinasi sehingga mulai membenci negaranya sendiri. Majalah Time mengutip, guru bahasa di Yemen berkata, “Ketika Lindh datang dari Amerika, dia sudah benci Amerika.” Tulis Time: “Surat2 Lindh dari Yemen sudah menunjukkan sikapnya yang mendua tentang A.S. Di sebuah suratnya pada ibunya tanggal 23 Sept., 1998, dia menulis bahwa pemboman di kedubes2 A.S. di Afrika bulan sebelumnya merupakan serangan yang “dilakukan Pemerintah Amerika sendiri dan bukan oleh Muslim.”

Kaum non-Muslim pelan2 jadi biasa mendengar taktik Islam yang melakukan tindakan kriminal dan menyalahkan korbannya. Setiap orang sudah mendengar bualan tentang “4000 orang Yahudi tidak masuk kerja di pagi hari 9/11/2001”, yang dikarang oleh para Muslim dan teori konspirasi yang mereka ciptakan untuk menyalahkan CIA dan Mossad padahal Bin Laden sendiri dengan sombongnya menyatakan kemenangannya. Jadi John muda yang inosen itu pelan2 dibimbing untuk percaya bahwa Islam adalah SATU-SATUNYA agama sejati bagi seluruh umat manusia. Dia mempelajari dan melakukan ibadahnya dengan tulus dan penuh semangat. Dia mulai membaca dan menghafal Qur’an dan di buku catatannya dia menulis, “Kita akan melakukan jihad selama kita hidup.”

Dengan menjadi Muslim, John Walker Lindh sudah masuk gelembung sabun dunia Muhammad yang narsistik. Dia mulai menunjukkan tanda2 pemikiran Islam yang irasional dan narsistik. Dia jelas tahu siapa yang bertanggung-jawab atas serangan teroris 9/11. Akan tetapi, di satu pihak dia menyangkal ini adalah hasil karya Muslim dan di pihak lain dia bersumpah untuk berjihad selama hidupnya.

John juga mengasingkan diri dari masyarakat negaranya. Berdasarkan Qur’an Muslim memang tidak boleh berteman dengan kafir. (Q.9:23) Mereka diminta untuk memerangi yang tidak percaya pada Allâh (Q.9:29) dan membunuh mereka. (Q.9:123) Seorang Muslim tidak boleh menerima agama lain. (Q.3:85)

Tidak heran ketika John menulis pada ibunya setelah pemilu presiden A.S. tahun 2000, dia menyebut George W. Bush sebagai “presidenmu yang baru” dan menambahkan, “Aku senang dia bukan presidenku.” Tentu saja bukan! Seorang Muslim tidak boleh menerima pimpinan kafir. Dia harus menentangnya, memeranginya dan berusaha membunuhnya. (Q.25:52)

John Walker Lindh adalah korban sakitnya masyarakat Barat yang disebut sebagai kebenaran politis (political correctnes = membenarkan hal yang salah untuk mencari kedudukan yang aman). Bukankah Ronald Reagan menyebut teroris Islam di Afghanistan sebagai “pnjuang kemerdekaan”? John lalu jadi pejuang kemerdekaan. Apa salahnya dengan hal itu? Bukankah Presiden George W. Bush dan Tony Blair berulang kali mengumumkan bahwa “Islam adalah agama damai”? Mengapa harus memenjarakan pengikut agama damai yang hanya melakukan apa yang tertulis dalam ajaran agama damainya?

Pihak Barat telah salah – salah karena melakukan dukungan, bersikap tidak peduli dan menipu diri sendiri.

Sebagai bacaan wajib musim panas tahun pertama mahasiswanya, Prof. Michael Sells dari University of North Carolina menyusun buku berjudul Approaching the Qur’an (Menelaah Qur’an) yang isinya hanya ajaran2 “baik” dari Qur’an yakni ayat2 Mekah saja, dan ayat2 Medinah yang penuh kekerasan, kucuran darah yang memerintahkan pembunuhan, penjarahan, dan pemerkosaan kafir, yang membuat orang waras manapun muak, sengaja tidak dimasukkan. Ini tidak lebih daripada permainan tipuan belaka. Penipuan yang sama dilakukan pula dalam buku2 karangan Karen Armstrong dan John Esposito tentang Islam. Anak2 muda Amerika dibohongi. Citra yang keliru tentang Islam diberikan pada mereka oleh akademis2 Barat, yang hanya Tuhan saja sendiri yang tahu apa tujuannya. Tatkala anak2 muda ini percaya apa yang dijejalkan dalam mulut mereka, percaya akan pertimbangan mereka, dan lalu memeluk Islam, maka masyarakat mencap mereka sebagai teroris, memenjarakan mereka, dan menghukum mereka. Bukankah ini munafik? Anak2 muda ini tidak bersalah. Mereka adalah hasil sikap masyarakat yang salah yang disebut sebagai kebenaran politis.

Berapa banyak koran2, TV2, dan radio2 yang berani mengatakan hitam ya hitam jika itu tentang Islam? Politikus kita yang mana yang berani berdiri di muka kamera dan menyatakan kepada seluruh bangsa bahwa Islam bukanlah agama damai? Bagaimana dengan anak2 kita? Jika seseorang berani mengatakan yang sebenarnya, maka dia seketika dicap sebagai rasis atau pembenci, dan kepalanya akan melayang. Akan tetapi, pelaku propaganda Islam diberi kebebasan untuk memutarbalik kebenaran dan menyebarkan kebohongan2 mereka, karena mereka tahu mereka tidak akan ditantang dengan apapun yang mereka katakan.

CAIR, Council of American-Islamic Relations (Konsul Hubungan Islam Amerika) (atau yang lebih tepat disebut sebagai “Conning Americans with Islamic Ruse” (Menipu Amerika dengan Muslihat Islam) membanjiri ribuan perpustakaan2 di seluruh Amerika dengan buku2 Islam, dengan harapan dapat menemukan John Walkers Lindsh yang lain. Mesjid2 dibangun di setiap kota dan desa di seluruh Amerika untuk membangkitkan kebencian terhadap Amerika diantara anak2 Amerika. Keadaannya malah lebih parah lagi di Eropa, Australia, Kanada, dan negara2 non-Muslim. Menurut “laporan rahasia” yang ditulis oleh Sean Rayment, Security Correspondent dari harian Sunday Telegraph pada tanggal 25 Februari, 2007, menyatakan bahwa lebih dari 2.000 Muslim berusaha melakukan aktivitas teroris di negaranya. Tiada seharipun seseorang tidak dibunuh teroris Muslim di penjuru dunia. Apa sih yang dibutuhkan agar dunia bangun dan menyadari bahwa Islam bukanlah agama tapi aliran sesat yang berbahaya? Kapan kita akan mempelajari Qur’an dan sejarah Islam untuk mengerti bahwa teroris bukanlah “ekstrimis” tapi hanya Muslim yang menjalankan ajaran2 agamanya yang asli dan nyata dan contoh perbuatan telah dilaksanakan oleh nabi mereka yang tercinta?

Begitu orang memeluk Islam, mereka masuk dunia kebohongan, kebodohan dan ketakutan, di mana khayalan menjadi kenyataan dan kejahatan dinyatakan sebagai perintah illahi. Nilai2 moral mereka mulai berantakan dan mereka melakukan hal2 yang tidak dapat diterima sebelum mereka kena indoktrinasi Islam. Semakin lama mereka berlaku seperti itu, semakin keras pula diri mereka, sampai2 tidak mungkin lagi kembali ke dunia nyata. Islam bertindak bagaikan kelumpuhan yang menyebar, yang perlahan-lahan mengkorupsi nalar dan nurani, sampai membentuknya menjadi buah Islam terbaik bagi seluruh Muslim yakni jihadis, atau yang lebih dikenal sebagai teroris, yang adalah mereka yang paling dicintai Allâh dan rasulnya.

Osherwo memberikan penjelasan kejiwaan yang lengkap terhadap kecenderungan ini: “Menurut teori disonan (pertentangan), ketika seseorang melakukan tindakan atau mempercayai hal yang tidak disetujuinya yang bertentangan dengan apa yang dipikirkannya, maka pertentangan ini mengakibatkan ketegangan yang tidak menyenangkan. Orang ini lalu akan mencoba mengurangi pertentangan, dan biasanya dengan cara mengubah kelakukannya agar sesuai dengan perbedaan atau kepercayaan tadi. Beberapa kejadian di Kenisah Rakyat dapat menerangkan terjadinya proses ini. Kejadian2 mengerikan di Jonestown tidak terjadi hanya karena ancaman2 belaka, dan tidak terjadi tiba2. Hal ini tidak terjadi karena orang2 lepas kontrol atau hilang ingatan, yang mengkibatkan mereka melakukan hal2 yang tidak waras. Yang terjadi adalah seperti yang dijelaskan dalam teori disonan kognitif, yakni orang2 membenarkan pilihan dan tekad mereka sendiri. Sama seperti air terjun raksasa dimulai dari beberapa tetes saja, maka perbuatan ekstrim dan musibah besar dalam terjadi melalui sikap setuju untuk melakukan perbuatan2 sepele yang tampaknya tak berarti. Dalam Kenisah Rakyat, prosesnya dimulai dengan menjalani pengurungan diri dan hanya bergabung bersama gereja Jones saja. Hal ini ditambah pula dengan kecenderungan membenarkan tekad dan tindakan dirinya.”

Mualaf (Muslim baru) seringkali menghadapi banyak kesukaran, dan ini mereka anggap sebagai “ujian dari Tuhan” dan “proses penyucian”. Hal ini dimulai dari berhenti minum minuman beralkohol dan makan babi. Memperhatikan apa yang dimakannya dan memilih makanan halal merupakan pembatasan kemerdekaan. Yang pria pelan2 tidak bergabung dengan para wanita sambil menekan hasrat seksual mereka. Hal ini mengganggu pikiran dan mereka seringkali terus-menerus merasa bersalah. Pikiran2 seksual tidak dapat dengan mudah ditekan. Akibatnya, banyak dari mereka yang terobsesi dengan seks. Seluruh tenaga mental mereka digunakan untuk memerangi “setan” dalam diri mereka. Semakin banyak mereka merasa bersalah tentang seks, semakin mereka benci terhadap wanita yang mereka salahkan karena menggodanya.

Lalu mereka wajib melakukan sholat lima waktu dalam bahasa yang tidak mereka kenal. Jika tidak sholat, mereka merasa bersalah dan harus melakukan sholat2 penggantinya. Wajib sholat dan tepat melakukannya adalah bentuk lain dari perbudakan mental. Qur’an juga harus dibaca dan dihafalkan, tapi tidak perlu dimengerti. Yang paling penting adalah pelafalan yang benar. Muslim tidak diperbolehkan untuk bertanya apalagi mengritiknya. Ini dapat berarti kematian.

Lalu ada daftar2 panjang yang termasuk haram yang harus dihindari Muslim, seperti anjing, babi, kencing, dan kafir. Muslim harus waswas dengan hal2 yang kotor ini dan cuci tubuh setiap kali menyentuh mereka. Bagi mualaf wanita, pelarangan bahkan lebih banyak lagi. Dia harus mengerudungi dirinya dengan jilbab dan memakai pakaian longgar, bahkan di hari panas terik sekalipun. Belanja ke pasar sambil berjilbab di siang hari yang panas merupakan siksaan. Semua kesusahan ini meningkatkan iman Muslim pada Islam lebih banyak lagi. Mereka mengira dengan lebih banyak menderita maka mereka akan lebih banyak menerima upah di alam baka. Para wanita harus tunduk pada kaum pria di keluarganya dan selalu taat dan penuh hormat. Mereka diancam, dihina, dipukul, diperkosa dan bahkan dibunuh, dan tiada perlindungan yang berarti dari masyarakat Muslim. Islam sangat berharga bagi Muslim, alasan utama adalah karena melakukan ibadah Islam sangatlah sulit.

Keadaan kejiwaan kecenderungan ini diterangkan oleh Osherow: “Ambilah contoh, calon anggota datang pertama kali ke Kenisah Rakyat. Jika seorang mengalami awal yang sulit untuk diterima dalam sebuah kelompok, maka orang ini cenderung mengira kelompok ini menarik hati, agar membenarkan dirinya dalam menjalani banyak kesusahan dalam kelompok ini."

Aronson and Mills [293] menunjukkan bahwa murid2 yang mengalami rasa malu besar sebagai persyaratan diterima dalam suatu kelompok diskusi, maka mereka menilai percakapan2 dalam diskusi itu jauh lebih menarik dibandingkan penilain murid2 lain yang tidak mengalami hal yang memalukan. Padahal dalam kenyataannya, percakapan2 tersebut sangatlah membosankan. Orang yang sukarela menjalani hal2 yang sulit juga cenderung menganggap hal itu tidak sesulit yang sebenarnya. Zimbardo [294] dan koleganya menunjukkan hal ini melalui suatu prosedur yang mengharuskan orang2 yang yang berpartisipasi untuk sukarela disetrum. Mereka yang mengira punya pilihan lain dalam hal ini melaporkan tidak merasa begitu sakit ketika disetrum. Lebih tepatnya, mereka yang mengalami disonansi yang lebih besar, yang membenarkan diri sendiri untuk mau sukarela disetrum, melaporkan bahwa rasa disetrum tidak sesakit yang dilaporkan orang lain yang tidak mengalami disonansi. Hal ini berpengaruh bahkan di luar perasaan dan perkataan mereka; mereka jadi lebih giat melakukan hal sulit itu tersebut, reaksi kulit galfanik mereka pada setrum yang terbaca di alat pengukur juga ternyata rendah. Jadi proses menekan disonansi bagaikan pedang bermata dua: di bawah bimbingan yang benar, orang yang sukarela menjalani hal sukar menganggap hal itu tidak seberat yang sebenarnya, tapi bisa juga malah mengakibatkan hal yang sebaliknya: “Kami mulai menyukai pertemuan2 yang berlangsung lama melelahkan, karena kami diberitahu bahwa pertumbuhan rohani datang dari pengorbanan diri sendiri.” (Mills, 1979)
[293] Aronson, E., AND Mills, J. The effects of severity of initiation on liking for a group. Journal of Abnormal and Social Psychology. 1959, 59, 177-18 1.
[294] Zimbardo, P. The cognitive control of motivation. Glenview, Ill.: Scott Foreman, 1969.


Hal ini menjelaskan mengapa Muslim dengan senang hati menjalani berbagai siksaan dan menganggapnya sebagai anugrah. Semua penderitaan ini dianggap sebagai pengorbanan kecil untuk mencapai upah yang lebih besar. Semakin menderita, semakin besar pula upanya. Contoh ekstrim pengabdian ini dapat dilihat di bulan Ashura, ketika Shia Muslim beramai-ramain memukuli diri sendiri di bagian dada dan mencambuki punggung mereka dengan cambuk besi, dan bahkan memotong jidat mereka sampai darah banyak mengucur. Dengan berlumuran darah sendiri, mereka berbaris ramai2 sehingga mengingatkan gambaran neraka yang ditulis Dante. Selain sholat lima waktu sebagai kewajiban, sebulan puasa makan minum, dan ibadah2 berat lainnya, Muslim juga harus menyerahkan seperlima penghasilan mereka kepada mesjid sebagai Khoms, dan dia juga harus memberi zakat.

Muhammad memerintahkan pengikutnya untuk melakukan jihad dan merampoki kekayaan kaum non-Muslim. Hal ini mungkin meragukan bagi beberapa pengikutnya yang masih punya nurani. Apakah memang kekayaan yang diambil melalui perampasan merupakan kekayaan yang suci? Tentunya begitu yang mereka pikirkan. Reaksi Muhammad adalah kekayaan hasil rampasan itu suci jika seperlimanya diberikan padanya. Dia menjejalkan ayat berikut ke dalam mulut tuhan boneka jejadiannya, memerintahkan dirinya untuk:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [295]
[295] Qur’an, Sura 9, Verse 103

Seperti yang kukatakan sebelumnya, setelah pengusicaran dan pembantaian masal kaum Yahudi di Medina, kota itu bukan lagi kota industri yang produktif. Sumber kekayaan mereka hanya dari merampok dan merampasi suku2 Arab lainnya. Kaum Muslim hanya bergantung pada barang jarahan yang didapatkan dari usaha merampok terus-menerus dan semua itu diatur oleh Muhammad. Khoms diwajibkan oleh sang Nabi untuk “memurnikan” harta haram itu dan tentunya untuk mengisi peti harta karun sang Nabi suci dan menyuplai tempat tidurnya dengan daging2 wanita yang baru. Bahkan sampai hari ini pun, para Muslim yang mencari nafkah secara jujur wajib untuk bayar khoms dan zakat. Terdapat ayat2 yang terus-menerus memperingatkan Muslim untuk “menyumbangkan sebagian uang untuk jalan Allâh”(Q.2:195) dan mengharuskan untuk “perang bagi Iman, dengan segala harta dan orang2nya.” (Q.8:72)

Muhammad menawarkan surga penuh orgi (pesta seks) dengan segala keindahan2nya bagi siapapun yang percaya padanya dan melakukan jihad baginya. Yang diperlukan hanyalah berhenti berpikir dan percaya apapun yang dikatakannya dan ini akan memberikannya jaminan masuk surga dan kenikmatan seksual abadi. Begitu seseorang masuk Islam atau aliran kepercayaan sesat manapun, dia pelan2 akan diminta untuk memberikan apapun yang dimilikinya, dari uangnya sampai waktunya. Tak lama kemudian dia akan begitu terlibat sampai susah untuk ke luar. Rasa sakit untuk mengakui bahwa dirinya memang ditipu amatlah pedih sehingga dia lebih memilih tidak menghadapi kenyataan dan terus saja membela imannya.

Osherow menjelaskan: “Begitu terlibat, seorang anggota harus menghabiskan waktu dan tenaga yang semakin banyak bagi Kenisah Rakyat. Ibadah2 dan pertemuan2 memenuhi segala waktu akhir minggu (Sabtu dan Minggu) dan beberapa petang setiap minggu. Bekerja untuk proyek2 Kenisah Rakyat dan menulis berbagai tulisan bagi politikus2 dan media memakan semua waktu senggang anggota. Sumbangan uang yang tadinya “sukarela” (tapi dicatat) diubah jadi sumbangan wajib seperempat penghasilan mereka. Akhirnya, seorang anggota harus melaporkan semua kekayaan, simpanan, cek uang kepada Kenisah Rakyat. Sebelum masuk ruang pertemuan di setiap ibadah, seorang anggota harus berhenti di sebuah meja dan menulis surat atau menandatangi dokumen kosong yang harus diserahkan kepada gereja Jones. Jika tidak mau, tindakan menolak ini dianggap “kurang beriman” pada Jones. Setiap tuntutan baru mengandung dua akibat: secara prakteknya, tuntutan baru membuat orang semakin terperosok masuk ke dalam jaringan Kenisah Rakyat dan sukar keluar; sedangkan akibat pada diri orang itu adalah membenarkan sikapnya sendiri karena menunjukkan iman yang kuat. Hal ini sama seperti yang ditulis Mills (1979): “Kami harus menghadapi kenyataan menyakitkan. Uang tabungan simpanan kami habis. Jim menuntut kami menjual asuransi jiwa kami dan menyerahkan uangnya kepada gereja, jadi kami tidak punya apa2. Semua kekayaan kami sudah diambil. Impian kami pergi melakukan missi ke luar negeri pupus sudah. Kami kira kami tidak mau berhubungan lagi dengan orang tua kami ketika menyatakan hendak meninggalkan negeri ini. Bahkan anak2 yang kami tinggal dan diurus oleh Carol dan Bill juga terang2an memusuhi kami. Jim berhasil melakukan semua ini dalam waktu singkat saja! Yang akhirnya kami miliki hanya Jim dan Alasan Utama saja, jadi kami berkeputusan untuk bersiap memberi semua kekuatan kami untuk kedua hal itu.”

Hal yang sama juga terjadi pada para Muslim awal. Mereka yang ikut hijrah bersama Muhammad ke Medina menjadi pengungsi yang tidak punya apa2 lagi. Mereka tidak punya pekerjaan dan rumah. Muhammad telah meminta kaum Ansar (= Penolong, Muslim Medina) untuk menolong kaum Muslim pendatang dan membagi apapun yang dimiliki dengan mereka. Ini tentunya bukan hal yang mudah bagi kedua belah pihak. Sebagian besar Muslim pendatang biasa tinggal di mesjid.

Ada kisah menarik tentang seorang Ansar menawarkan istrinya pada seorang Muslim pendatang:

Abdur Rahman bin Auf berkata, “Ketika kami datang ke Medina sebagai pendatang, Rasul Allâh mendirikan persaudaraan antara kami dan Sa’d bin Ar-Rabi'. Sa’d bin Ar-Rabi' berkata (padaku), “Aku adalah yang terkaya diantara orang2 Ansar, jadi aku akan memberimu separuh hartaku dan kau boleh melihat kedua istriku dan siapapun yang kau pilih dari keduanya, maka akan kuceraikan dia, dan setelah dia menyelesaikan waktu yang ditentukan (sebelum menikah) kau boleh menikahinya.” Beberapa hari kemudian, ‘Abdur Rahman datang dan terdapat bercak kuning (noda) di tubuhnya. Rasul Allâh bertanya padanya apakah dia telah menikah. Dia mengiyakannya. Sang Nabi berkata, ‘Siapakah yang kau nikahi?’ Dia menjawab, ‘Wanita dari kaum Ansar.” [296]
[296] Sahih Bukhari Volume 3, Book 34, Number 264

Para Muslim mengutip kisah ini untuk menunjukkan bagaimana Muhammad memperkuat persaudaraan diantara para Muslim. Tapi kisah ini juga menunjukkan bahwa para Muslim begitu fanatik sehingga tidak mengindahkan urusan pribadi dan bahkan mengorbankan perkawinan mereka. Semua kemerdekaan dan kemandirian mereka sudah hilang lenyap. Dalam kebanyakan kasus mereka menyerahkan kemerdekaannya secara sukarela. Mereka yang dapat melihat masalah tidak berani membicarakan hal ini. Kaum pendatang tidak dapat kembali lagi. Memberontak dianggap sebagai kejahatan terbesar. Kaum Ansar pun tidak berani bicara karena setiap orang bisa jadi mata2 bagi sang Nabi. Mereka dapat dibunuh pada keesokan harinya dan selalu saja ada pengikut fanatik yang dengan suka hati akan membunuh Muslim lain. Hal ini sama persis dengan keadaan saat ini di mana kebanyakan Muslim dengan suka hati akan membunuh siapapun yang mengritik agamanya. Mereka yang melihat masalah tidak punya pilihan lain selain tunduk dan terus ikut kelompoknya. Dalam suatu hadis kita baca:

Seorang pria buta punya seorang budak wanita yang sedang mengandung (bayi pria buta itu sendiri) dan budak ini suka mengolok-olok dan menghina sang Nabi. Ia melarangnya tapi budaknya tidak mau berhenti. Ia memarahinya, tapi budak itu tetap tidak meninggalkan tabiatnya. Suatu malam, budak itu mulai mencemooh sang Nabi dan menghinanya. Lalu pria itu mengambil sebuah pisau, menempelkannya di perut budak itu, lalu menusuknya, dan membunuhnya. Janinnya ke luar diantara kakinya berlumuran darah. Pagi harinya, sang Nabi diberitahu tentang hal ini. Dia mengumpulkan orang2nya dan berkata: Aku meminta dengan sangat demi Allah orang yang melakukan hal ini untuk berdiri mengaku. Pria buta itu lalu melompat dan dengan gemetar berdiri.
Dia duduk di sebelah sang Nabi dan berkata: Rasul Allah! Akulah majikan budak itu; ia seringkali menghina dan mengolok-olokmu. Aku melarangnya, tapi dia tidak berhenti, aku memarahinya, tapi dia tidak meninggalkan tabiatnya. Aku punya dua anak laki bagaikan mutiara dari budak perempuan ini, dan ia adalah kesayanganku. Kemaren malam, dia mulai lagi menghina dan mengolok-olok engkau. Lalu kuambil sebuah pisau, menempelkannya di perutnya, dan menusukkannya sampai aku membunuhnya.
Sang Nabi berkata: Oh jadilah saksi ini, tidak ada pembalasan yang perlu dibayar bagi darahnya”.
[297]
[297] Sunan Abu-Dawud Book 38, Number 4348

Seorang pria membunuh gundik dan anaknya sendiri dan yang hanya perlu dikatakannya untuk membela diri adalah gundik itu menghina sang Nabi dan lalu Muhammad membebaskannya.

Dalam suasana penuh teror seperti ini, siapakah yang berani melawan kehendak Muhammad? Bagaimana jika pria itu bohong untuk menghindari hukuman yang layak? Pesan yang disampaikan Muhammad sudah jelas: Siapapun yang menghinanya, harus dibunuh dan pembunuhnya tidak akan dihukum. Dapat dibayangkan berapa banyak pembunuh yang bebas hukuman dengan alibi ini.

Hukum bagian 295-C di Pakistan berbunyi: “Siapapun yang dengan kata2, yang diucapkan atau ditulis, atau dengan bukti yang dapat dilihat, atau dengan tuduhan, siratan, atau sindiran, secara langsung atau tidak langsung menghina nama suci Nabi Muhammad akan dihukum mati dan juga diberi sanksi.”

Muhammad tidak malu2 mengutarakan impiannya. Sebuah hadi mengatakan bahwa dia berkata: “Tiada seorang pun darimu yang punya iman sampai dia mencintai diriku lebih dari mencintai ayahnya, anak2nya, dan seluruh umat manusia.” [298] Dia adalah narsisis dan semua narsisis ingin dicintai dan ditakuti. Keduanya sama saja baginya. Yang dia pedulikan hanyalah keinginannya saja. Muhammad begitu ingin dihormati sampai2 ketika sekelompok orang Arab menemuinya dan tidak menghormatinya sebagaimana yang diinginkannya, dia membuat tuhannya berkata:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.”
[299]
[298] Sahih Bukhari Volume 1 Number 14
[299] Qur’an, Sura 49, Verses 2-4